Secara etimologis
menurut Bagus (2002), rasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris rationalims,
dan menurut Edwards (1967) kata ini berakar dari bahasa Latin ratio yang
berarti “akal”, Lacey (2000) menambahkan bahwa berdasarkan akar katanya
rasionalisme adalah sebuah pandangan yang berpegang bahwa akal merupakan sumber
bagi pengetahuan dan pembenaran. Kaum Rasionalisme mulai dengan sebuah
pernyataan aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan
dari ide yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran
manusia.
Rasionalisme adalah faham filsafat yang menyatakan bahwa
akal (reason) adalah alat terpenting untuk memperoleh pengetahuan. Menurut
aliran rasionalis, suatu pengetahuan diperoleh dengan cara berfikir.
Para tokoh aliran rasionalisme, di antaranya adalah
Descartase (1596-1650 M), Spinoza (1632-1677 M) dan Leibniz (1646-1716 M).
Aliran Rasionalisme ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan dalam bidang
filsafat. Dalam bidang agama, aliran rasionalisme adalah lawan dari otoritas
dan biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama. Adapun dalam bidang
filsafat, rasionalisme adalah lawan dari empirisme dan sering berguna dalam
menyusun teori pengetahuan. Hanya saja, empirisme mengatakan bahwa pengetahuan
diperoleh dengan jalan mengetahui objek empirisme, sedangkan rasionalisme
mengajarkan bahwa pengtahuan diperoleh dengan cara berfikir, pengetahuan dari
empirisme dianggap sering menyesatkan. Adapun alat berfikir adalah
kaidah-kaidah yang logis.
Zaman modern dalam sejarah filsafat biasanya dimulai oleh
filsafat Descartes, istilah modern di sini hanya digunakan untuk menunjukkan
suatu filsafat yang mempunyai corak yang amat berbeda, bahkan berlawanan dengan
corak filsafat pada abad pertengahan Kristen. Corak utama filsafat modern yang
di maksud di sini ialah di anutnya kembali rasionalisme seperti pada masa kuno.
Gagasan itu, di sertai oleh argument yang kuat, di ajukan oleh Descartes. Oleh
karena itu, gerakan pemikiran Descartes sering juga di sebut bercorak
renaissance. Pada masa ini, rasionalisme Yunani lahir kembali, sebagai objek
kajian yang harus dan menarik untuk di amati. Sejak kezaliman intelektual di
lakukan oleh gereja dan tidak sedikit para filosuf dikekang kebebasan
berfikirnya, zaman ini memberi pintu lebar-lebar kepada siapapun, bukan hanya
kepada filosuf, tetapi bagi semua orang yang mau mencurahkan pandangan dan
pendapatnya atau kepada siapa pun yang mau berfilsafat.
Anggapan Descartes sebagai Bapak Filsafat Modern, menurut
Bertrand Russel, memang benar. Kata bapak diberikan kepada Descartes karena
dialah orang pertama pada zaman modern yang
membangun filsafat yang berdiri atas keyakinan diri sendiri yang di hasilkan
oleh pengtahuan rasional. Dialah orang pertama pada akhir abad pertengahan yang
menyusun argumentasi yang kuat yang distinct, yang menyimpulkan bahwa dasar
filsafat adalah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci, dan bukan
yang lainnya. (Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004:107)
Descartes adalah orang Inggris. Ayahnya anggota parlemen
Inggris. Pada tahun 1612, descates pindah ke prancis. Ia termasuk orang yang
taat mengerajakan ibadah menurut ajaran katholik, tetapi ia juga menganut
ajaran Galilio yang pada waktu itu masih di tentang oleh tokoh-tokoh gereja.
Dari tahun 1629 M sampai 1649 M, ia menetap di Belanda.
Tokoh-Tokoh
Rasionalisme
1. Rene Descartes
Metode
Rene Descartes
Segala sesuatu perlu di pelajari, tetapi di perlukan metode
yang tepat untuk mempelajarinya. Rene Descartes
pun berfikir demikian, ia mengatakan bahwa mempelajari filsafat
membutuhkan metode tersendiri agar hasilnya benar-benar logis. Ia sendiri
mendapatkan metode yang di carinya itu, yaitu dengan menyaksikan segala-galanya
atau menerapkan metode keragu-raguan, artinya kesangsian atau keragu-raguan ini
harus meliputi seluruh pengetahuan yang di miliki, temasuk juga
kebenaran-kebenaran yang sampai kini di anggap sudah final dan pasti. Misalnya,
bahwa ada suatu dunia material bahwa saya mempunyai tubuh, kalau terdapat suatu
kebenaran yang tahan dalam kesangsian radikal, itulah kebenaran yang sama
sekali pasti dan harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan.
Dalam karya Descartes, ia menjelaskan pencarian kebenaran
melalui metode keragu-raguan. Karyanya berjudul A Discourse on Methode
mengemukakan perlunya memerhatikan empat hal berikut :
1. Kebenaran baru dinyatakan shahih
jika telah benar-benar indrawi dan realitasnya telah jelas dan tegas, sehingga
tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
2. Pecahkan lah setiap kesulitan atau
masalah itu sebanyak-banyaknya, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang
mampu merobohkannya.
3. Bimbinglah pikiran dengan teratur,
dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah di ketahui, kemudian secara
bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4. Dalam proses pencarian dan
pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus di buat perhitungan-perhitungan
sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga di peroleh
keyakinan banwa tak ada satu pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam
penjelajahah itu. (juhaya S. Pradja, 2000 : 65)
Rene Descartes tidak begitu saja menerima kebenaran atas
dasar pancaindra. Pada dasarnya, ia bersikukuh bahwa semua yang dilihatnya
harus diragukan kebenarannya, dan setiap yang telah terlihat jelas dan tegas
harus dipilah-pilah hingga mendapat bagian-bagian yang kecil. Atas dasar
aturan-aturan itulah, Descartes mengembangkan pikiran filosofisnya. Dia sendiri
meragukan pakah sekarang sedang berdiri menyaksikan realitas yang tampak di
matanya atau dia sedang tidur dan bermimpi. Sebagaimana ia meragukan dirinya
apakah sedang sadar atau sedang gila.
Keraguan Descartes sangat rasional, karena tidak ada perbedaan signifikan antara kenyataan dalam mimpi dan kenyataan ketika terjaga, karena gambarannya sama. Sebagaimana seseorang yang bermimpi bertemu kakeknya, kemudian ia benar-benar bertemu dengan kakeknya. Apakah yang benar itu ketika tertidur atau terjaga, tidaklah jelas karena hasilnya tidak ada bedanya. Bahkan ketika seseorang pernah melihat kuda yang sedang terbang dengan sayapnya. Sebuah kenyataan yang berawal dari dua kenyataan yang berbeda, karena kuda dan sayap semula tidak bersatu, tetapi apa yang bisa di lihat bisa saja menjadi satu. Oleh karena itu, keraguan terhadap semua yang dilihat sangat beralasan, karena terlalu banyak tipu daya terhadap pembuktian kebenaran hakiki.
Keraguan Descartes sangat rasional, karena tidak ada perbedaan signifikan antara kenyataan dalam mimpi dan kenyataan ketika terjaga, karena gambarannya sama. Sebagaimana seseorang yang bermimpi bertemu kakeknya, kemudian ia benar-benar bertemu dengan kakeknya. Apakah yang benar itu ketika tertidur atau terjaga, tidaklah jelas karena hasilnya tidak ada bedanya. Bahkan ketika seseorang pernah melihat kuda yang sedang terbang dengan sayapnya. Sebuah kenyataan yang berawal dari dua kenyataan yang berbeda, karena kuda dan sayap semula tidak bersatu, tetapi apa yang bisa di lihat bisa saja menjadi satu. Oleh karena itu, keraguan terhadap semua yang dilihat sangat beralasan, karena terlalu banyak tipu daya terhadap pembuktian kebenaran hakiki.
Juhaya S. Pradja (2000:65) mengatakan bahwa betapapun
radikalnya keragu-raguan Descartes ini, akhirnya ia pun mengakui behwa di sana,
ada satu hal yang tak bisa di ragukan, biar setan licik atau jin gundul yang
berniat menipunya. Yang dimaksudkannya adalah bahwa “aku yang sedang
ragu-ragu menandakan bahwa aku sedang berfikir dan karena aku berfikir, aku
ada” (cogito ergo sum). Mengingat bahwa aku berfikir ini adalah sesuatu,
dan mengingat bahwa kebenaran cogito ergo sum begitu keras dan meyakinkan,
sehingga anggapan kaum skeptic yang paling hebat pun tidak akan menipu
menumbangkannya, sampailah aku pada keyakinan bahwa aku dapat menerimanya
sebagai prinsip pertama dari filsafat yang ku cari.
2. De
Spinoza (1632-1677 M)
Spinoza dilahirkan pada tahun 1632 dan meninggal dunia pada
tahun 1677 M. Nama aslinya Baruch Spinoza. Setelah ia mengucilkan diri dari
agama yahudi, ia mengubah namanya menjadi Benedictus de Spinoza. Ia hidup di
pinggiran kota Amsterdam. Spinoza maupun Leibniz mengikuti pemikiran Rene
Descartes. Dua tokoh terakhir ini juga menjadikan substansi sebagai tema pokok
dalam metafisika mereka, dan mereka berdua juga mengikuti metode Descartes.
Tiga filosofis ini, Descartes, Spinoza, dan Leibniz,
biasanya di kelompokkan ke dalam suatu mazhab, yaitu Rasionalisme. Spinoza
mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan kebenaran tentang
sesuatu, sebagaimana pertanyaan, apa substansi dari sesuatu, bagaimana
kebenaran itu bisa benar-benar yang terbenar. Spinoza menjawabnya dengan
pendekatan yang juga sebelumnya dilakukan oleh Rene Descartes, yakni pendekatan
deduksi matematis, yang dimulai dengan meletakkan definisi, aksioma, proposisi,
kemudian barulah membuat pembuktian berdasarkan definisi, aksioma, proposisi itu.
De Spinoza memiliki cara berfikir yang sama dengan Rene
Descartes, ia mengatakan bahwa kebenaran itu terpusat pada pemikiran dan
keluasan. Pemikiran adalah jiwa, sedangkan keluasan adalah tubuh, yang
eksistensinya berbarengan.
3. Leibniz (1646-1716 M)
Seorang filosuf Jerman, matematikawan, fisikawan, dan sejarawan. Lama menjadi pegawai pemerintah,
menjadi atase, pembantu pejabat tinggi nengara pusat. Dialah Gottfried Eilhelm
von Leibniz yang dilahirkan pada tahun 1646 M dan meninggal pada tahun 1716 M.
metafisikanya adalah idea tentang substansi yang di kembangkanya dalam konsep
monad.
Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini, mekanisme dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi menurut Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan, tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang di ciptakannya. Kita lihat bahwa hanya satu substansi , sedangkan Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda dari yang lain, dan Tuhan (supermonad) adalah pencipta monad-monad itu. Karya Leibniz tentang ini di beri judul Monadology (study tentang monad) yang di tulisnya pada tahun 1714 M. ini adalah singkatan metafisika Leibniz.
Metafisika Leibniz sama-sama memusatkan perhatian pada substansi. Bagi Spinoza, alam semesta ini, mekanisme dan keseluruhannya bergantung kepada sebab, sementara substansi menurut Leibniz ialah prinsip akal yang mencukupi, yang secara sederhana dapat dirumuskan, “sesuatu harus mempunyai alasan”. Bahkan, tuhan juga harus mempunyai alasan untuk setiap yang di ciptakannya. Kita lihat bahwa hanya satu substansi , sedangkan Leibniz berpendapat bahwa substansi itu banyak. Ia menyebut substansi-substansi itu monad. Setiap monad berbeda dari yang lain, dan Tuhan (supermonad) adalah pencipta monad-monad itu. Karya Leibniz tentang ini di beri judul Monadology (study tentang monad) yang di tulisnya pada tahun 1714 M. ini adalah singkatan metafisika Leibniz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar