HUBUNGAN FILSAFAT ILMU, LOGIKA DAN PENELITIAN
Filsafat ilmu, logika dan penelitian
memiliki hubungan yang sinergi. Filsafat ilmu yang membahas tentang ontologi,
epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan logika yang digunakan untuk
pembuktian, baik mengenai kenyataan, kebenaran dan tingkat kepastian, dapat
dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu empirisme dan rasionalisme
atau realisme yang merupakan aliran yang berbeda.
Dalam filsafat rasionalisme atau realisme lebih menekankan pada cara berfikir
positivistik paradigma kuantitatif. Berfikir positivistik adalah bersifat
spesifik berpikir tentang empiri yang teramati, yang teratur, dan dapat
dieliminasi serta di manupulasikan dari satuan besarnya.
Penelian berusaha untuk mencapai kebenaran atau
menemukan teori-teori ilmiah. Penelitian dalam konteks ini dapat dipahami
sebagai proses epistemologis untuk mencapai kebenaran. Sumber kebenaran
semata-mata berasal dari realitas empiris-sensual, demikian pandangan
positivisme. Sunarto (1993) menjelaskan, August Comte yang dianggap sebagai
peletak dasar positivisme memperkenalkan “hukum tiga jenjang” perkembangan
intelektual manusia, yakni: jenjang teologi, metafisika, dan positivis. Hal ini
tercermin dari cara manusia menjelaskan berbagai gejala sosial ekonomi. Manusia
pada jenjang pertama mengacu kepada hal-hal yang bersifat adikodrati; pada
jenjang kedua mengacu kepada kekuatan-kekuatan metafisik, dan pada jenjang
ketiga mengacu pada deskripsi dan hukum-hukum ilmiah. Positivisme tidak
mengakui – atau setidaknya menganggap rendah -- hal-hal yang di luar
empiris-sensual manusia.
Bertolak dari hukum-hukum ilmiah, positivisme menekankan bahwa obyek yang
dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus mengarah kepada kepastian dan
kecermatan. Menurut
Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian ilmiah ialah:
pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Positivisme, menurut
Muhadjir (2000) – yang guru besar filsafat ilmu dan metode penelitian – tidak
mempertentangkan antara logika induktif atau deduktif, melainkan lebih
menekankan fakta empiris yang menjadi sumber teori dan penemuan ilmiah.
Berbeda dengan positivisme, rasionalisme menekankan
bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan
argumentasi secara logik. Karena itu, yang penting bagi rasionalisme ialah
ketajaman dalam pemaknaan empiri. Muhadjir (2000) menegaskan, pemahaman
intelektual dan kemampuan argumentatif perlu didukung data empirik yang
relevan, agar produk ilmu yang berlandaskan rasionalisme betul-betul ilmu,
bukan fiksi. Bagi rasionalisme fakta empirik bukan hanya yang sensual,
melainkan ada empiri logik, empiri teoritik, dan empiri etik. Misalnya: ruang
angkasa, peninggalan sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya,
semuanya merupakan realitas tetapi tidak mudah dihayatti secara sensual
melainkan dapat dihayati secara teoritik. Karena itu, rasionalisme mengakui
realitas empirik teoritik dan empiris logik (Muhadjir, 2000: 81-2).
Dalam aliran positivistik logik
sangat menolak terhadap ethik transendental yang berada dikawasan metafisik.
Para penganut neo-Kantian dikenal sebagai epistimologi positivistik yang
menolak segala bentuk ethik transenden. Salah satu prinsip utama dalam
positivisme adalah penerapan prinsip variabilitas terhadap sesuatu sebagai
benar. Apakah sesuatu dideskripsikan sebagai benar dalam menggunakan proposisi
atau bentuk lain, perlu diferivikasi benar sakahnya. Sesuatu deskripsi yang
benar mungkin sekali diperkembangkan menjadi hukum, yang diharapkan dapat
memberikan inferensi, memprediksikan untuk kasus lain, atau kasus mendatang.
Berbeda dengan aliran empirik logik yang pada akhirnya memunculkan logika
phenomologik. Dalam berfikir dalam phenomologi antrophologi mengarah kearah
mencari esensi, mencari sifat generatif, mencari kesimpulan idiografik,dan
filsafat yang memberikan landasan adalah phenomologi Hussert.
Realisme metaphisik Popper berangkan dari filsafat
positivistik analitik. Bertemu dengan filsafat phenomologi Hussert antara lain
pada pengakuan tentang kebenaran obyektif universal. Yang obyektif universal
tersebut menurut Hussert dan juga Popper merupakan suatu abstraksi yang tidak
dapat dibuktikan. Pembuktiannya sebatas pada kasus.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar