Jumat, 26 Desember 2014

FILSAFAT ILMU, LOGIKA DAN PENELITIAN

HUBUNGAN FILSAFAT ILMU, LOGIKA DAN PENELITIAN

Filsafat ilmu, logika dan penelitian memiliki hubungan yang sinergi. Filsafat ilmu yang membahas tentang ontologi, epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan logika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan, kebenaran dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu empirisme dan rasionalisme atau realisme yang merupakan aliran yang berbeda.
            Dalam filsafat rasionalisme atau realisme lebih menekankan pada cara berfikir positivistik paradigma kuantitatif. Berfikir positivistik adalah bersifat spesifik berpikir tentang empiri yang teramati, yang teratur, dan dapat dieliminasi serta di manupulasikan dari satuan besarnya.
           Penelian berusaha untuk mencapai kebenaran atau menemukan teori-teori ilmiah. Penelitian dalam konteks ini dapat dipahami sebagai proses epistemologis untuk mencapai kebenaran. Sumber kebenaran semata-mata berasal dari realitas empiris-sensual, demikian pandangan positivisme. Sunarto (1993) menjelaskan, August Comte yang dianggap sebagai peletak dasar positivisme memperkenalkan “hukum tiga jenjang” perkembangan intelektual manusia, yakni: jenjang teologi, metafisika, dan positivis. Hal ini tercermin dari cara manusia menjelaskan berbagai gejala sosial ekonomi. Manusia pada jenjang pertama mengacu kepada hal-hal yang bersifat adikodrati; pada jenjang kedua mengacu kepada kekuatan-kekuatan metafisik, dan pada jenjang ketiga mengacu pada deskripsi dan hukum-hukum ilmiah. Positivisme tidak mengakui – atau setidaknya menganggap rendah -- hal-hal yang di luar empiris-sensual manusia.
           Bertolak dari hukum-hukum ilmiah, positivisme menekankan bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Menurut Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian ilmiah ialah: pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Positivisme, menurut Muhadjir (2000) – yang guru besar filsafat ilmu dan metode penelitian – tidak mempertentangkan antara logika induktif atau deduktif, melainkan lebih menekankan fakta empiris yang menjadi sumber teori dan penemuan ilmiah.
           Berbeda dengan positivisme, rasionalisme menekankan bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik. Karena itu, yang penting bagi rasionalisme ialah ketajaman dalam pemaknaan empiri. Muhadjir (2000) menegaskan, pemahaman intelektual dan kemampuan argumentatif perlu didukung data empirik yang relevan, agar produk ilmu yang berlandaskan rasionalisme betul-betul ilmu, bukan fiksi. Bagi rasionalisme fakta empirik bukan hanya yang sensual, melainkan ada empiri logik, empiri teoritik, dan empiri etik. Misalnya: ruang angkasa, peninggalan sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya, semuanya merupakan realitas tetapi tidak mudah dihayatti secara sensual melainkan dapat dihayati secara teoritik. Karena itu, rasionalisme mengakui realitas empirik teoritik dan empiris logik (Muhadjir, 2000: 81-2).
Dalam aliran positivistik logik sangat menolak terhadap ethik transendental yang berada dikawasan metafisik. Para penganut neo-Kantian dikenal sebagai epistimologi positivistik yang menolak segala bentuk ethik transenden. Salah satu prinsip utama dalam positivisme adalah penerapan prinsip variabilitas terhadap sesuatu sebagai benar. Apakah sesuatu dideskripsikan sebagai benar dalam menggunakan proposisi atau bentuk lain, perlu diferivikasi benar sakahnya. Sesuatu deskripsi yang benar mungkin sekali diperkembangkan menjadi hukum, yang diharapkan dapat memberikan inferensi, memprediksikan untuk kasus lain, atau kasus mendatang.
            Berbeda dengan aliran empirik logik yang pada akhirnya memunculkan logika phenomologik. Dalam berfikir dalam phenomologi antrophologi mengarah kearah mencari esensi, mencari sifat generatif, mencari kesimpulan idiografik,dan filsafat yang memberikan landasan adalah phenomologi Hussert.     Realisme metaphisik Popper berangkan dari filsafat positivistik analitik. Bertemu dengan filsafat phenomologi Hussert antara lain pada pengakuan tentang kebenaran obyektif universal. Yang obyektif universal tersebut menurut Hussert dan juga Popper merupakan suatu abstraksi yang tidak dapat dibuktikan. Pembuktiannya sebatas pada kasus.


Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar