Jumat, 26 Desember 2014

FILSAFAT ILMU, LOGIKA DAN PENELITIAN

HUBUNGAN FILSAFAT ILMU, LOGIKA DAN PENELITIAN

Filsafat ilmu, logika dan penelitian memiliki hubungan yang sinergi. Filsafat ilmu yang membahas tentang ontologi, epistimologi dan aksiologi dikaitkan dengan logika yang digunakan untuk pembuktian, baik mengenai kenyataan, kebenaran dan tingkat kepastian, dapat dikelompokkan menjadi dua aliran filsafat ilmu yaitu empirisme dan rasionalisme atau realisme yang merupakan aliran yang berbeda.
            Dalam filsafat rasionalisme atau realisme lebih menekankan pada cara berfikir positivistik paradigma kuantitatif. Berfikir positivistik adalah bersifat spesifik berpikir tentang empiri yang teramati, yang teratur, dan dapat dieliminasi serta di manupulasikan dari satuan besarnya.
           Penelian berusaha untuk mencapai kebenaran atau menemukan teori-teori ilmiah. Penelitian dalam konteks ini dapat dipahami sebagai proses epistemologis untuk mencapai kebenaran. Sumber kebenaran semata-mata berasal dari realitas empiris-sensual, demikian pandangan positivisme. Sunarto (1993) menjelaskan, August Comte yang dianggap sebagai peletak dasar positivisme memperkenalkan “hukum tiga jenjang” perkembangan intelektual manusia, yakni: jenjang teologi, metafisika, dan positivis. Hal ini tercermin dari cara manusia menjelaskan berbagai gejala sosial ekonomi. Manusia pada jenjang pertama mengacu kepada hal-hal yang bersifat adikodrati; pada jenjang kedua mengacu kepada kekuatan-kekuatan metafisik, dan pada jenjang ketiga mengacu pada deskripsi dan hukum-hukum ilmiah. Positivisme tidak mengakui – atau setidaknya menganggap rendah -- hal-hal yang di luar empiris-sensual manusia.
           Bertolak dari hukum-hukum ilmiah, positivisme menekankan bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, dan bahwa kajian harus mengarah kepada kepastian dan kecermatan. Menurut Comte, sarana yang dapat dilakukan untuk melakukan kajian ilmiah ialah: pengamatan, perbandingan, eksperimen, dan metode historis. Positivisme, menurut Muhadjir (2000) – yang guru besar filsafat ilmu dan metode penelitian – tidak mempertentangkan antara logika induktif atau deduktif, melainkan lebih menekankan fakta empiris yang menjadi sumber teori dan penemuan ilmiah.
           Berbeda dengan positivisme, rasionalisme menekankan bahwa ilmu berasal dari pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik. Karena itu, yang penting bagi rasionalisme ialah ketajaman dalam pemaknaan empiri. Muhadjir (2000) menegaskan, pemahaman intelektual dan kemampuan argumentatif perlu didukung data empirik yang relevan, agar produk ilmu yang berlandaskan rasionalisme betul-betul ilmu, bukan fiksi. Bagi rasionalisme fakta empirik bukan hanya yang sensual, melainkan ada empiri logik, empiri teoritik, dan empiri etik. Misalnya: ruang angkasa, peninggalan sejarah masa lampau, dan jarak sekian tahun juta cahaya, semuanya merupakan realitas tetapi tidak mudah dihayatti secara sensual melainkan dapat dihayati secara teoritik. Karena itu, rasionalisme mengakui realitas empirik teoritik dan empiris logik (Muhadjir, 2000: 81-2).
Dalam aliran positivistik logik sangat menolak terhadap ethik transendental yang berada dikawasan metafisik. Para penganut neo-Kantian dikenal sebagai epistimologi positivistik yang menolak segala bentuk ethik transenden. Salah satu prinsip utama dalam positivisme adalah penerapan prinsip variabilitas terhadap sesuatu sebagai benar. Apakah sesuatu dideskripsikan sebagai benar dalam menggunakan proposisi atau bentuk lain, perlu diferivikasi benar sakahnya. Sesuatu deskripsi yang benar mungkin sekali diperkembangkan menjadi hukum, yang diharapkan dapat memberikan inferensi, memprediksikan untuk kasus lain, atau kasus mendatang.
            Berbeda dengan aliran empirik logik yang pada akhirnya memunculkan logika phenomologik. Dalam berfikir dalam phenomologi antrophologi mengarah kearah mencari esensi, mencari sifat generatif, mencari kesimpulan idiografik,dan filsafat yang memberikan landasan adalah phenomologi Hussert.     Realisme metaphisik Popper berangkan dari filsafat positivistik analitik. Bertemu dengan filsafat phenomologi Hussert antara lain pada pengakuan tentang kebenaran obyektif universal. Yang obyektif universal tersebut menurut Hussert dan juga Popper merupakan suatu abstraksi yang tidak dapat dibuktikan. Pembuktiannya sebatas pada kasus.


Sumber :


Rasa Ingin Tahu adalah Kodrat Manusia



Salah satu kodrat manusia adalah untuk mencari tahu apa yang belum diketahui. Anak  kecil adalah penanya sejati, dia tanyakan semua apa yang di sekitarnya, dia menganggap segala sesuatu itu luar biasa, dia selalu ingin tahu, makanya banyak orang beranggapan bahwa anak kecil adala filosof sejati. Namun pada umumya setelah dewasa, orang menganggap hal-hal yang ada disekitarnya biasa- biasa saja. Jadi tidak perlu dipertanyakan. Memahami orang dan kodrat manusia hanyalah soal mangenali dan mengakui seseorang sebagaimana mareka adanya, bukan apa yang orang pikirkan tentang mereka, dan bukan orang menginginkan mereka menjadi apa. Tindakan manusia diatur oleh pikirannya sendiri, sifat ini sangat kuat dalam diri manusia sehingga pikiran yang menonjol dalam kasih sayang adalah kepuasan atau kenikmatan yang diperoleh si pemberi dengan memberi, bukan dengan menerima. kodrat manusia sejak awal memang demikian dan akan tetap demikian sampai akhir zaman karena manusia ditempatkan di bumi dengan kodrat itu. manusia sebagai animal rational dibekali hasrat ingin tahu. Manusia selalu ingin tahu dalam hal apa sesungguhnya yang ada (know what), bagaimana sesuatu terjadi (know how), dan mengapa demikian (know why) terhadap segala hal. Orang tidak puas apabila yang ingin diketahui tidak terjawab.
Keingintahuan manusia tidak terbatas pada keadaan diri manusia sendiri atau keadaan sekelilingnya, tetapi terhadap semua hal yang ada di alam fana ini bahkan terhadap hal-hal yang ghaib. Manusia berusaha mencari jawaban atas berbagai pertanyaan itu; dari dorongan ingin tahu manusia berusaha mendapatkan pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakannya. Ilmu Pengetahuan berawal pada kekaguman manusia akan alam yang dihadapinya, baik alam besar (macro cosmos), maupun alam kecil (micro-cosmos).  Di dalam sejarah perkembangan pikir manusia ternyata yang dikejar itu esensinya adalah pengetahuan yang benar, atau secara singkat disebut kebenaran.
Hasrat ingin tahu manusia terpuaskan kalau dia memperoleh pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakannya. . Rasa keingintahuan manusia dimulai dari rasa ingin mengenal dirinya sendiri yang kemudian berkembang kepada rasa keingintahuan manusia pada alam sekitarnya.
Rasa ingin tahu hanya akan mendorong seseorang untuk mengkaji fenomena alam semesta disaat hati nuraninya menyakini bahwa alam semesta ini telah diciptakan berdasarkan hukum kausalitas dan aturan yang selaras, keyakinan seperti ini tidak akan muncul kecuali dari keimanan terhadap Tuhan, dan ia tidak akan dimiliki oleh seorang materialis sejati. Oleh karenanya seorang materialis yang menghabisi usianya di dalam lab-lab dan pusat-pusat kajian guna mengkaji dan meneliti rahasia dan fenomena alam semesta, pada dasarnya hati nuraninya menyakini akan keberadaan Tuhan, walaupun secara zahir ia menampakkan dirinya sebagai seorang materialis.
Rasa keingintahuan tersebut terpuaskan dengan kemampuan bahasa manusia untuk berkomunikasi dan bertukar pengalaman tentang segala hal yang ada di alam serta kegunaannya bagi manusia. Meskipun demikian manusia masih mempunyai keterbatasan misalnya keterbatasan manusia dalam melihat, mendengar, berpikir dan merasakan tentang apa yang terjadi disekitarnya secara benar dan utuh.
Manusia adalah mahluk transenden yang tak pernah puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Bahkan leluhur manusia, Adam yang telah diberi pengetahuan langsung oleh Allah dan berpengetahuan lebih ketimbang mahluk lain masih saja ingin tahu rahasia buah kuldi. Rasa ingin tahu manusia tak pernah terpuaskan, ia terus bertanya dan bertanya.
Dalam manusia curiosity (rasa ingin tahu) pikiran manusia berkembang dari waktu kewaktu rasa ingin tahunya atau pengetahuannya selalu bertambah sehingga terjadi timbunan pengetahuan . Maka terjadilah perkembangan akal manusia sehingga justru daya pikirnya lebih berperan dari pada fisiknya. Dengan akal tersebut manusia memenuhi tujuan hidupnya disamping untuk melestarikan hidup untuk memenuhi kepuasan hidup serta juga untuk mencapai cita-cita.
Manusia ingin mengetahui segala sesuatu. Segala sesuatu yang terjadi (situasi, kondisi, keadaan, sifat, karakter, ciri-ciri, peristiwa, kejadian) maupun apa saja yang ada (benda, hewan, tumbuhan, dll.) baik yang ada/terjadi di lingkungannya (environment) maupun yang ada/terjadi di dalam dirinya sendiri (peredaran darah, degup jantung, rasa senang, sedih, dll.)
Semua hal yang ingin diketahui manusia disebut realitas.
Hasilnya adalah Pengetahuan (Knowledge), dan setelah melalui 3 tahap tadi akan berubah menjadi ilmu (Science).
Realitas tunggal (single reality) disebut Fakta (fact) yang kebenarannya tidak perlu diperdebatkan lagi, misalnya "Tahun 1963 John F. Kennedy ditembak mati."
Realitas yang satu dirangkaikan dengan realitas lain menghasilkan Phenomenon (Fenomena- fenomena)
Beberapa sifat realitas:
1.      bersifat statik sekaligus dinamik
Realitas bersifat statik sekaligus dinamik berarti dalam setiap realitas diasumsikan terdapat hal-hal yang tetap (regular) dan hal-hal yang berubah-ubah. Ketegangan dalam memahami apa yang berubah dan apa yang tetap itu menjadikan manusia selalu ingin tahu tentang realitas
2.            bersifat denotatif dan konotatif
Relitas bersifat denotatif, artinya realitas "harfiah" menyangkut simbol-simbol terhadap benda-benda konkrit atau peristiwa konkrit, sedangkan makna konotatif menyangkut simbolisasi terhadap peristiwa yang imagined (terbayang) atau "abstrak."
3.      bersifat realitas yang disepakati (agreement reality) dan realitas yang dialami (experiential reality).
Realitas bersifat disepakati, misalnya seorang anak diberitahu oleh orang tuanya bahwa cacing adalah binatang menjijikkan, maka persepsi sang anak terhadap hewan itu adalah hewan menjijikkan, sehingga dihindarinya, namun kalau sang anak mengalami sendiri makan masakan yang bahan utamanya daging cacing yang ternyata bergizi, lezat, dan bahkan menjadi makanan favoritnya, maka pengalamannya (experience) itu bertentangan dengan kesepakatannya semula dengan orang tuanya (agreement).

Perkembangan rasa keingintahuan
- Mitos dan mitologi, mitos adalah cerita rakyat yang dibuat-buat atau dongeng yang ada kaitanya dengan kejadian, gejala yang terdapat di alam,  manusia pada alam sekitarnya.
Mitos sebenarnya adalah manusia dengan imajinasinya berusaha secara sungguh-sungguh menrangkan gejala alam yang ada, namun usahanya belum dapat tepat karena kurang memiliki pengetahuan sehingga untuk bagian tersebut orang mengaitkannya dengan seorang tokoh, dewa, atau dewi.
Tujuan manusia menciptakan MITOS,
karena pada saat itu penduduk masih dalam tingkat mistis peradabannya. Mereka percaya akan adanya kekuatan-kekuatan gaib yang melebihi kekuatan manusia biasa. Dalam zaman demikianlah, mitos dipercayai kebenarannya karena beberapa faktor.
PERTAMA, karena keterbatasan pengetahuan manusia
KEDUA, karena keterbatasan penalaran manusia
KETIGA, karena keingintahuan manusia untuk sementara telah terpenuhi. Telah dikemukakan bahwa kebenaran memang harus dapat diterima oleh akal, tetapi sebagian lagi dapat diterima secara intuisi, yaitu penerimaan atas dasar kata hati tentang sesuatu itu benar. Kata hati yang irasional dalam kehidupan masyarakat awam sudah dapat diterima sebagai suatu kebenaran (pseudo science), kebenaran dan hasaratnya ingin tahu sudah terpenuhi,paling tidak untuk sementara waktu.
- Manusia berpikir rasional:
Rasional adalah menerima sesuatu atas dasar kebenaran pikiran atau rasio. Pham tersebut bersumber pada akal manusia yang diolah dalam otak. Dengan berpikir rasional, manusia dapat meletakkan hubungan dari apa yang telah diketahui dan yang sedang dihadapi. Kemampuan manusia mempergunakan daya akalnya disebut inteligensi, sehingga dapat disebutkan adanya manusia yang mempunyai intelegensinya rendah,, normal dan tinggi. Dalam perkembangan sejarah manusia, terdapat kesan bahwa pada mulanya perasaan manusialah yang lebih berperan dalam kehidupannya, sehingga timbul kepercaayaan atau agama dan rasa sosial. Dengan makin banyaknya persoalan yang harus dihadapi, manusia makin banyak mempergunakan akalnya dan kurang mementingkan perasaan.
Logika dan pengetahuan
Logika adalah pengetahuan dan kecakapan untuk berpikir dengan lurus, tepat dan sehat. Dalam mempergunakan logika manusia mengenal logika kodratih dan logka ilmiah. Logika kodratiah merupakan cara berpikir secara spontan dalam menanggapi atau memecahkan suatu persoalan. Logika ilmiah dapat memperhalus dan mempertajam pikiran dan akal budi, sehingga hasil pemikirannya dapat benar-benar lurus, tepat, dan sehat sehingga terhindar dari kesesatan.
Beruntunglah manusia yang  telah dianugerahi akal (rasio) yang memiliki kemampuan luar biasa, sehingga manusia dapat memiliki kemampuan belajar untuk memperoleh pengetahuannya. Dari hal-hal yang semula tidak diketahuinya, kemudian menjadi tahu dan bahkan dari pengetahuan yang telah diketahuinya itu kemudian dikembangkan sedemikian rupa,  dari mulai pengetahuan atau ilmu yang berguna bagi sesamanya sampai yang dapat menghancurkan atau membinasakan sesamanya (bom hydrogen).   Jika hasil-hasil penemuan yang ada saat ini, bila diceritakan pada zaman dulu, niscaya akan dianggap sebagai omong kosong atau juga bisa dianggap sebagai hal yang tidak masuk akal (irrasional).
Kemampuan belajar manusia bisa jadi mulanya diawali dari rasa keingin tahuannya saja.  Menurut teori Curiosity Berlyne, seperti yang dikemukakan oleh Susan Edelman (1997)  dari California State University, Northridge;  “Curiosity is defined as a need, thirst or desire for knowledge. The concept of curiosity is control to motivation. The terms can be used as both a description of specific behavior as well as a hypothetical construct to explain the same behavior. Berlyne (1960) believes that curiosity is a motivational prerequisite for exploratory behavior”.
Menurut Berlyne, ketidak pastian muncul ketika kita mengalami sesuatu yang baru, mengejutkan, tidak layak, atau kompleks.  Hal ini akan menimbulkan rangsangan yang tinggi dalam sistim saraf kita.  Respon manusia ketika menghadapi suatu ketidak pastian inilah yang disebut dengan curiosity atau rasa ingin tahu.  Curiosity akan mengarahkan manusia kepada perilaku yang berusaha mengurangi ketidak pastian.  Rasa ingin tahu yang tinggi dapat juga dikaitkan dengan teori Maslow, yang menyatakan bahwa manusia memiliki kebutuhan yang salah satunya adalah kebutuhan untuk memahami.
Rasa ingin tahu (curiosity) akan sesuatu hal, apakah itu rasa heran, takjub, bahkan keinginan menyingkap Kebenaran akan sesuatu yang menarik hatinya, sebenarnya dimiliki oleh setiap orang, namun hasrat besar atau kecilnya rasa keingintahuan pada setiap orang itu bisa jadi berbeda-beda antara yang satu dengan lainnya, akan tetapi rasa keingintahuan itu tetap ada dan merupakan sifat alami yang positif yang dimiliki oleh setiap orang.  Ambil contoh, seorang anak yang akal-nya mulai berkembang sering menanyakan hal-hal yang masih belum dipahaminya, dan apapun yang ada disekelilingnya maupun dihadapannya yang belum diketahuinya, misalnya seorang anak kecil tidak tahu bahaya daripada air yang baru dimasak oleh ibunya, sebelum ia berhasil menjangkau benda panas tersebut. Rasa keingintahuannya mendorong untuk menjangkau benda panas tersebut, dan setelah ia merasakan panasnya benda itu, barulah  ia menyadari bahaya dari air yang baru dimasak itu
Namun sayangnya, perkembangan curiosity ini sering terjebak oleh lingkungan kehidupan yang serba rutin dan mekanis dalam keseharian, apalagi dimasa-masa sulit seperti sekarang ini yang untuk mendapatkan kebutuhan pokok saja kita harus berpacu agar tidak kehabisan diambil orang lain.  Misalnya, pagi bangun, mandi, sarapan pagi, berangkat kerja atau sekolah, nonton TV, tidur, bangun, terus berulang seperti itu, yang tidak ada bedanya dengan robot atau program komputer, termasuk makan yang harus tiga kali sehari, baik ia dalam kondisi lapar atau tidak tidak lapar, dan kalau ada yang menanyakan mengapa harus makan? (padahal habis nyemil). jawabannya kurang lebih ” Ya … karena sudah jam makan” (walaupun tidak lapar).
Karena pengkondisian seperti inilah, maka rasa ingin tahu (curiosity) itupun mulai tersingkirkan dengan diawali rasa tidak mau tahu yang disebabkan oleh adanya hal-hal lain yang menurutnya lebih penting untuk dipikirkan dan didahulukan untuk dikerjakan.  Ironisnya, hal lain yang lebih penting itu adalah program rutinitas dan mekanisasi hidup, dan segala sesuatu yang berlangsung disekelilingnya dipandang memang harus berjalan seperti itu, tanpa berusaha mencari kejelasan apa sebenarnya yang berkeliaran dan terjadi disekelilingnya itu. 


Sumber :

Hakekat Manusia Dalam Sudut Pandang Filsafat

HAKEKAT MANUSIA DALAM SUDUT PANDANG FILSAFAT

Manusia merupakan makhluk ciptaan Alloh yang paling sempurna, karena manusia dibekali dengan berbagai kelebihan dibanding dengan makhluk lain, yaitu nafsu (sifat dasar iblis), taat/patuh/tunduk (sifat dasar malaikat) dan akal (sifat keistimewaan manusia). Dengan adanya akal, membuat manusia selalu ingin tahu tentang apapun. Untuk memenuhi rasa ingin tahu itu manusia menggunakan jalur pendidikan. Melalui pendidikan manusia memperoleh berbagai ilmu baru dan dapat mengembangkan ilmu tersebut.
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang amat luas (komprehensif) yang berusaha untuk memahami persoalan-persoalan yang timbul didalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman manusia. Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang hakekat kebenaran sesuatu. Filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami dan menyelami secara radikal, dan integral serta sistematik mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakekatnya yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahua tersebut.
Berikut pandangan filsafat terhadap manusia dari beberapa sudut pandang yakni dari:
1. Teori descendensi,
Teori ini meletakkan manusia sejajar dengan hewan berdasarkan sebab mekanis. Artinya manusia tidaklah jauh berbeda dengan hewan, dimana manusia termasuk hewan yang berfikir, melakukan segala aktivitas hidupnya, manusia juga tidak beda dengan binatang yang menyusui.
Beberapa ahli filsafat berbeda pemikiran dalam mendefinisikan manusia. Manusia adalah makhluk yang concerned (menaruh minat yang besar) terhadap hal-hal yang berhubungan dengannya, sehingga tidak ada henti-hentinya selalu bertanya dan berpikir.
Aristoteles (384-322 SM), seorang filosof besar Yunani mengemukakan bahwa manusia adalah hewan yang berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal-pikirannya. Juga manusia adalah hewan yang berpolitik (zoonpoliticon, political animal), hewan yang membangun masyarakat di atas famili-famili menjadi pengelompokkan yang impersonal dari pada kampung dan negara. Manusia berpolitik karena ia mempunyai bahasa yang memungkinkan ia berkomunikasi dengan yang lain. Dan didalam masyarakat manusia mengenal adanya keadilan dan tata tertib yang harus dipatuhi. Ini berbeda dengan binatang yang tidak pernah berusaha memikirkan suatu cita keadilan.
Berdasarkan Thomas Hobbes, Homo homini lupus artinya manusia yang satu serigala manusia yang lainnya (berdasarkan sifat dan tabiat) Nafsu yang paling kuat dari manusia adalah nafsu untuk mempertahankan diri, atau dengan kata lain, ketakutan akan kehilangan nyawa.
Menurut Nietsche, bahwa manusia sebagai binatang kekurangan (a shortage animal). Selain itu juga menyatakan bahwa manusia sebagai binatang yang tidak pernah selesai atau tak pernah puas ( das rucht festgestelte tier ). Artinya manusia tidak pernah merasa puas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Julien, bahwa manusia manusia tak ada bedanya dengan hewan karena manusia merupakan suatu mesin yang terus bekerja ( de lamittezie). Artinya bahwa dari aktivitas manusia dimulai bangun tidur sampai ia tidur kembali manusia tidak berhenti untuk beraktivitas.
Menurut Ernest Haeskel, bahwa manusia merupakan (animalisme), tak ada sanksi bahwa segala hal manusia sungguh-sungguh ialah binatang beruas tulang belakang yakni hewan menyusui. Artinya bahwa tidak diragukan lagi manusia adalah sejajar dengan hewan yang menyusui.
Menurut Adi Negara bahwa alam kecil sebagian alam besar yang ada di atas bumi. Sebagian dari makhluk yang bernyawa, sebagian dari bangsa antropomoker, binatang yang menyusui, akan tetapi makhluk yang mengetahui keadaan alamnya, yang mengetahui dan dapat menguasai kekuatan alam di luar dan di dalam dirinya (lahir dan batin).
2. Metafisika
adalah teori yang memandang keberadaan sesuatu dibalik atau di belakang fisik. Dalam teori ini manusia dipandang dari dua hal yakni:
a.       Fisik, yang terdiri dari zat. Artinya bahwa manusia tercipta terdiri dari beberapa sel, yang dapat di indera dengan panca indera.
b.      Ruh, manusia identik dengan jiwa yang mencakup imajinasi, gagasan, perasaan dan penghayatan semua itu tidak dapat diindera dengan panca indera.

3. Psikomatik
Memandang manusia hanya terdiri atas jasad yang memiliki kebutuhan untuk menjaga keberlangsungannya artinya manusia memerlukan kebutuhan primer (sandang, pangan dan papan) untuk keberlangsungan hidupnya.
Manusia terdiri dari sel yang memerlukan materi cenderung bersifat duniawi yang diatur oleh nilai-nilai ekonomi (dinilai dengan harta / uang) artinya manusia memerlukan kebutuhan duniawi yang harus dipenuhi, apabila kebutuhan tersebut sudah terpenuhi maka mereka akan merasa puas terhadap pencapaiannya.
Manusia juga terdiri dari ruh yang memerlukan nilai spiritual yang diatur oleh nilai keagamaan (pahala). Dalam menjalani kehidupan duniawi manusia membutuhkan ajaran agama, melalui ceramah keagamaan untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Dalam hal ini manusia ingin menjadi manusia yang paling sempurna. Untuk menjadi manusia sempurna haruslah memiliki unsur-unsur sebagai berikut :
1. Rasionalitas
2. Kesadaran
3. Akal budi
4. Spiritualitas
5. Moralitas
6. Sosialitas
7. Keselarasan dengan alam


Sumber :