Minggu, 16 November 2014

Perilaku Alay

PERILAKU ALAY DALAM SUDUT PANDANG FILSAFAT

Menurut Koentjara Ningrat : "Alay adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya diantara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakain, sekaligus meningkatkan kenarsisan, yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya (baca: Pengguna internet sejati, kayak blogger dan kaskuser). Diharapkan Sifat ini segera hilang, jika tidak akan mengganggu masyarakat sekitar"
Menurut Sahala Saragih : “Bahasa alay merupakan bahasa sandi yang hanya berlaku dalam komunitas mereka. Penggunaan bahasa sandi tersebut menjadi masalah jika digunakan dalam komunikasi massa atau dipakai dalam komunikasi secara tertulis. Dalam ilmu bahasa, bahasa alay termasuk sejenis bahasa ‘diakronik’ yaitu bahasa yang dipakai oleh suatu kelompok dalam kurun waktu tertentu. Ia akan berkembang hanya dalam kurun tertentu. Perkembangan bahasa diakronik ini, tidak hanya penting dipelajari oleh para ahli bahasa, tetapi juga ahli sosial atau mungkin juga politik. Sebab, bahasa merupakan sebuah fenomena sosial. Ia hidup dan berkembang karena fenomena sosial tertentu.”
Menurut Selo Soemaridjan : "Alay adalah perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya merasa keren, cantik, hebat diantara yang lain. Hal ini bertentangan dengan sifat Rakyat Indonesia yang sopan, santun, dan ramah. Faktor yang menyebabkan bisa melalui media TV (sinetron), dan musisi dengan dandanan seperti itu."
Banyak cara yang digunakan untuk berbahasa alay dalam bentuk lisan, salah satunya yaitu dengan memonyongkan bibir atau mendesah mengikuti kata-kata yang mereka ucapkan. Ada yang merujuk pada anak muda yang demi mendapatkan pengakuan di tengah lingkungan pergaulan akan melakukan apa saja, dari meniru gaya pakaian, gaya berfoto dengan muka yang sangat dibuat-buat.
Fenomena prilaku alay seperti ini berkembang terus menerus hingga saat ini. Bukan hanya itu, prilaku alay hingga saat ini memiliki tingkatan-tingkatan tertentu. Tingkatan tersebut dimulai dari tingkatan paling rendah, tingkatan rendah, tingkatan sedang, tingkatan parah dan tingkatan terakhir adalah tingkatan paling parah. Tingkatan – tingkatan ini didasarkan pada penggunaan bahasa tulisan yang digunakan oleh alay tersebut. Semakin rumit untuk dibaca dan difahami maka dapat dipastikan tingkatan alay seseorang semakin parah. Mereka yang berprilaku alay berpikir bahwa berprilaku alay bermanfaat bagi dirinya. Manfaat tersebut adalah adanya pengakuan dari kelompok tertentu akan kehadiran dan eksistensinya. Secara tidak sadar teori kebenaran yang mereka ikuti adalah teori kebenaran pragmatisme. Mereka yang berprilaku alay berfikir secara pragmatis bahwa dengan berprilaku alay mereka dapat diterima dan akhirnya memperoleh kepuasan (satisfied) akan pengakuan terhadap dirinya. Menurut (Jujun,1984) tentang kebenaran menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Kemunculan gaya, prilaku dan bahasa alay memang tidak dapat ditinjau dari segi ontologi dan epistomologi bahkan axiologi. Hal tersebut dikarenakan gaya, prilaku dan bahasa alay bukanlah suatu ilmu yang memiliki kebenaran yang dapat dibuktikan. Gaya, prilaku dan bahasa alay merupakan suatu bagian dari budaya yang berkembang dikalangan remaja di Indonesia. Namun, jika kita memandang bahasa remaja alay sebagai sebuah pengetahuan kita bisa menganalisis bahasa alay dari sudut pandang ontologi, epistomologi dan axiologi. Bahasa remaja alay, baik dari gaya komunikasi melaui media verbal maupun gaya komunikasi melaui media tulisan ditinjau dari sudut pandang ontologi memiliki hakikatnya tersendiri. hakikat keberadaan bahasa remaja alay jika dilihat menurut tata hubungan sistematisnya timbul karena keinginan remaja dalam masa pencarian jati diri untuk diperhatikan. Selain itu, remaja dalam masa pencarian jati diri ingin menunjukan eksistensi dan kehadirannya di dalam lingkungan masayarakat. Secara epistomologi bahasa remaja alay tumbuh bersamaan dengan perkembangan media sosial dan perkembangan teknologi yang tidak dibarengi oleh penerapan pendidikan yang tepat untuk mengurangi dampak dari perkembangan media sosial dan teknologi. Karena rentannya proses imitasi di kalangan remaja, perkembangan bahasa alay berkembang dengan cepat di kalangan remaja di Indonesia. Namun walaupun demikian, sumber dari gaya komunikasi verbal dan tulisan yang berlebihan remaja alay tidak jelas asal mulanya, tidak jelas siapa pencetus, tidak jelas siapa penggagas dan siapa pemula dari gaya komunikasi verbal dan tulisan yang sifatny alay tersebut. Gaya bahasa remaja alay ditinjau dari sudut pandang axiologi atau kegunaannya memang sedikit sekali. Remaja alay hanya akan memperoleh gengsi karena bisa faham dan mengerti bahasa alay. Namun bagi orang yang mencintai bahasa Indonesia yang baik dan benar, mungkin kegunaan dari bahasa alay adalah tidak ada. Namun tidak dapat dipungkiri, bahasa remaja alay akan selalu bersinggungan dengan kehidupan kita sehari-hari. Terlebih bagi mereka para orang tua yang memiliki anak remaja. Jika orang tua mengerti dan faham mengenai gaya berbahasa alay, setidaknya mereka mampu mencermati obrolan mereka remaja-remaja alay yang mungkin salah satunya adalah anak mereka. Timbulnya gaya, prilaku dan bahasa alay di kalangan remaja di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor –faktor tersebut menurut (Ma'ruff, 2012) antara lain adalah :
1. Buruknya lingkungan pergaulan Lingkungan tempat pribadi bergaul banyak memberikan sumbangan terhadap prilaku pribadi tersebut. Misalnya saja seseorang banyak bergaul di lingkungan yang sifatnya ilmiah maka segala tindak tanduk yang dilakukan oleh pribadi tersebut akan didasari oleh fakta-fakta ilmiah yang ia pelajari. Begitu pula dengan seorang yang berprilaku alay, orang tersebut pasti akan meniru dan mencerminkan prilaku dimana ia banyak bergaul.
2.  Sosialisasi yang kurang sempurna Kebanyakan alay beranggapan bahwa prilaku alay yang ia tunjukan adalah tuntutan jaman dan pergaulan. Mereka para alay menganggap bahwa jika alay artinya mereka gaul, sedangkan yang lainnya yang tidak alay adalah kuno dan kurang gaul. Anggapan tersebut jelas-jelas salah. Penekanan kata ‘gaul’ serta makna ‘gaul’ yang diberikan, ditanamkan dan disosialisasikan pada pribadi seseorang dinilai kurang sempurna. Oleh karenanya, prilaku alay seseorang juga dapat disebabkan salahsatunya oleh proses sosialisasi yang kurang sempurna.
3.    Lemahnya pendidikan teknologi Lemahnya pendidikan teknologi yang dimaksud adalah lemahnya pemahaman seseorang terhadap penggunaan media dan teknologi yang ada sekarang ini. Media sosial yang ada sekarang ini memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap berkembangnya gaya, prilaku dan bahasa alay. Perilaku – perilaku alay yang ditunjukan merupakan akibat dari penggunaan media sosial dan teknologi yang tidak dibarengi dengan pendidikan terhadap penggunaan media sosial dan teknologi tersebut.
4.  Terbatasnya interaksi sosial Seseorang dapat menjadi alay karena terbatasnya interaksi sosial. Mereka (para alay) menciptakan komunitasnya sendiri karena mereka tidak dianggap di suatu lingkungan sosial tertentu. Mereka berpikir bahwa komunitas lingkungan sosial tertentu bersifat tertutup dan tidak menghiraukan kehadiran dirinya di lingkungan tersebut. Suatu komunitas/ kelompok hanya bergaul dengan kelompoknya saja, tanpa menginginkan pergaulan dengan kelompok lainnya. Hal tersebut dapat memicu terciptanya komunitas alay sebagai pengakuan akan eksistensi diri dan lingkungannya.
5.   Masa peralihan atau transisi seseorang dari anak-anak menjadi seorang yang dewasa dapat pula menjadi penyebab seseorang menjadi alay. Perilaku remaja yang sedang dalam masa transisi biasanya menunjukan prilaku yang berlebihan dan prilaku hiperbola yang tidak terkontrol. Prilaku berlebihan seorang remaja ini tiada lain adalah suatu proses pencarian jati diri dan ekpresi dari pencarian jati diri yang selalu ingin menunjukan “siapa saya” dan “seperti apa saya”. Oleh karenanya bisa timbul prilaku alay yang salah satunya ditunjukan dalam proses tulis – menulis gaya anak alay.
6.  Kepincangan globalisasi Arus globalisasi yang datang begitu deras menimbulkan ketimpangan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Mereka yang berada di wilayah pedesaan kurang mampu menjelaskan internet secara spesifik berbeda dengan mereka yang berada di wilayah perkotaan. Banyak dari mereka yang alay hanya meniru berbagai kebiasaan buruk mereka yang ada dikota termasuk salah satunya prilaku alay dari internet.
7.  Buruknya kualitas pendidikan Kualitas pendidikan menjadi ujung tombak perubahan prilaku remaja yang ada di Indonesia. Buruknya kualitas pendidikan yang ada di Indonesia berpengaruh banyak terhadap prilaku dan gaya alay yang timbul di kalangan remaja Indonesia. Pendidikan dasar yang memiliki peranan penting, seharusnya mampu memberikan penekanan pada anak mengenai kebaikan dan keburukan, kebenaran dan ketidakbenaran tentang sesuatu hal. Hal ini dapat tertancap dalam otak anak jika di mulai dari pendidikan dasar. Mereka para pribadi alay pada dasarnya tidak akan memperhatikan logika, etika dan estetika dari gaya, prilaku dan bahasa alay tersebut. Para remaja alay yang sedang mencari jati dirinya kurang bisa membedakan secara logika mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak pernah berpikir panjang mengenai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang jika mereka terus berprilaku alay. Mereka tidak akan memikirkan kelangsungan hidup dari Bahasa Nasional di masa yang kan datang. Para remaja juga tidak akan berfikir kebaikan dan keburukan (etika) dari penggunaan gaya dan prilaku khusunya bahasa dan tulisan alay. Bahasa pada dasarnya adalah sebuah alat yang dapat digunakan oleh manusia untuk melakukan komunikasi. Salah satu jenis komunikasi adalah komunikasi dalam bentuk tulisan. Komunikasi dalam bentuk tulisan akan terjalin dengan lancar jika antara orang-orang yang berkomunikasi dapat mengerti dan memahami apa yang disampaikan satu sama lainnya. Bagaimana seseorang bisa memahami apa yang disampaikan dalam sebuah tulisan oleh yang lain tanpa mengetahui apa makna dari huruf, angka dan simbol yang dituliskan oleh orang lainnya. Tulisan yang penuh dengan kombinasi simbol, angka, huruf besar dan huruf kecil akan menimbulkan kebingungan bagi si pembaca yang tidak terbiasa menggunakan hal tersebut. Budaya seperti ini sering ditunjukan oleh pribadi alay dimana kombinasi penggunaan simbol, huruf besar, huruf kecil dan angka sering digabung untuk menuliskan sebuah hal. Orang-orang yang banyak berkecimpung di dunia bahasa mungkin merasakan kurang nyaman dengan gaya, prilaku dan terlebih bahasa yang sifatnya alay. Gaya bahasa alay baik yang menggunakan media verbal ataupun media tuisan dapat merusak tatanan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Gaya bahasa remaja alay jika dibiarkan memang lama kelamaan akan menghapus rasa nasionalisme terhadap bahasa nasional Republik Indonesia. Penanaman rasa cinta terhadap bahasa Indonesia harusnya mulai di tanamkan semenjak anak-anak masih berada pada usia dini. Kemudian selanjutnya, rasa kecintaan terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat dibina, dipupuk, di pelihara pada usia usia selanjutnya. Tugas ini bukan hanya tugas guru di sekolah, melainkan tugas seluruh warga Indonesia termasuk di dalamnya orang tua yang sifatanya lebih dekat dengan remaja dan anak-anak usia sekolah.

      Sumber
http://aguskusmanago.blogspot.com/2014/01/prilaku-alay-ditinjau-dari-sudut.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar