PERILAKU ALAY DALAM SUDUT PANDANG FILSAFAT
Menurut
Koentjara Ningrat :
"Alay
adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya
diantara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan, dan gaya
berpakain, sekaligus meningkatkan kenarsisan, yang cukup mengganggu masyarakat
dunia maya (baca: Pengguna internet sejati, kayak blogger dan kaskuser). Diharapkan
Sifat ini segera hilang, jika tidak akan mengganggu masyarakat sekitar"
Menurut Sahala Saragih : “Bahasa alay merupakan bahasa sandi
yang hanya berlaku dalam komunitas mereka. Penggunaan bahasa sandi tersebut
menjadi masalah jika digunakan dalam komunikasi massa atau dipakai dalam
komunikasi secara tertulis. Dalam ilmu bahasa, bahasa alay termasuk sejenis
bahasa ‘diakronik’ yaitu bahasa yang dipakai oleh suatu kelompok dalam kurun
waktu tertentu. Ia akan berkembang hanya dalam kurun tertentu. Perkembangan
bahasa diakronik ini, tidak hanya penting dipelajari oleh para ahli bahasa,
tetapi juga ahli sosial atau mungkin juga politik. Sebab, bahasa merupakan
sebuah fenomena sosial. Ia hidup dan berkembang karena fenomena sosial
tertentu.”
Menurut Selo
Soemaridjan : "Alay adalah perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya
merasa keren, cantik, hebat diantara yang lain. Hal ini bertentangan dengan
sifat Rakyat Indonesia yang sopan, santun, dan ramah. Faktor yang menyebabkan
bisa melalui media TV (sinetron), dan musisi dengan dandanan seperti itu."
Banyak cara yang digunakan untuk berbahasa alay dalam bentuk lisan, salah
satunya yaitu dengan memonyongkan bibir atau mendesah mengikuti kata-kata yang
mereka ucapkan. Ada yang merujuk pada anak muda yang demi mendapatkan pengakuan
di tengah lingkungan pergaulan akan melakukan apa saja, dari meniru gaya
pakaian, gaya berfoto dengan muka yang sangat dibuat-buat.
Fenomena prilaku alay
seperti ini berkembang terus menerus hingga saat ini. Bukan hanya itu, prilaku
alay hingga saat ini memiliki tingkatan-tingkatan tertentu. Tingkatan tersebut
dimulai dari tingkatan paling rendah, tingkatan rendah, tingkatan sedang,
tingkatan parah dan tingkatan terakhir adalah tingkatan paling parah. Tingkatan
– tingkatan ini didasarkan pada penggunaan bahasa tulisan yang digunakan oleh
alay tersebut. Semakin rumit untuk dibaca dan difahami maka dapat dipastikan
tingkatan alay seseorang semakin parah. Mereka yang berprilaku alay berpikir
bahwa berprilaku alay bermanfaat bagi dirinya. Manfaat tersebut adalah adanya
pengakuan dari kelompok tertentu akan kehadiran dan eksistensinya. Secara tidak
sadar teori kebenaran yang mereka ikuti adalah teori kebenaran pragmatisme.
Mereka yang berprilaku alay berfikir secara pragmatis bahwa dengan berprilaku
alay mereka dapat diterima dan akhirnya memperoleh kepuasan (satisfied) akan
pengakuan terhadap dirinya. Menurut (Jujun,1984) tentang kebenaran menurut
teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu
pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan
itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Kemunculan gaya, prilaku
dan bahasa alay memang tidak dapat ditinjau dari segi ontologi dan epistomologi
bahkan axiologi. Hal tersebut dikarenakan gaya, prilaku dan bahasa alay
bukanlah suatu ilmu yang memiliki kebenaran yang dapat dibuktikan. Gaya,
prilaku dan bahasa alay merupakan suatu bagian dari budaya yang berkembang
dikalangan remaja di Indonesia. Namun, jika kita memandang bahasa remaja alay
sebagai sebuah pengetahuan kita bisa menganalisis bahasa alay dari sudut
pandang ontologi, epistomologi dan axiologi. Bahasa remaja alay, baik dari gaya
komunikasi melaui media verbal maupun gaya komunikasi melaui media tulisan
ditinjau dari sudut pandang ontologi memiliki hakikatnya tersendiri. hakikat
keberadaan bahasa remaja alay jika dilihat menurut tata hubungan sistematisnya
timbul karena keinginan remaja dalam masa pencarian jati diri untuk
diperhatikan. Selain itu, remaja dalam masa pencarian jati diri ingin
menunjukan eksistensi dan kehadirannya di dalam lingkungan masayarakat. Secara epistomologi
bahasa remaja alay tumbuh bersamaan dengan perkembangan media sosial dan
perkembangan teknologi yang tidak dibarengi oleh penerapan pendidikan yang
tepat untuk mengurangi dampak dari perkembangan media sosial dan teknologi.
Karena rentannya proses imitasi di kalangan remaja, perkembangan bahasa alay
berkembang dengan cepat di kalangan remaja di Indonesia. Namun walaupun
demikian, sumber dari gaya komunikasi verbal dan tulisan yang berlebihan remaja
alay tidak jelas asal mulanya, tidak jelas siapa pencetus, tidak jelas siapa
penggagas dan siapa pemula dari gaya komunikasi verbal dan tulisan yang sifatny
alay tersebut. Gaya bahasa remaja alay ditinjau dari sudut pandang axiologi
atau kegunaannya memang sedikit sekali. Remaja alay hanya akan memperoleh
gengsi karena bisa faham dan mengerti bahasa alay. Namun bagi orang yang
mencintai bahasa Indonesia yang baik dan benar, mungkin kegunaan dari bahasa
alay adalah tidak ada. Namun tidak dapat dipungkiri, bahasa remaja alay akan
selalu bersinggungan dengan kehidupan kita sehari-hari. Terlebih bagi mereka
para orang tua yang memiliki anak remaja. Jika orang tua mengerti dan faham
mengenai gaya berbahasa alay, setidaknya mereka mampu mencermati obrolan mereka
remaja-remaja alay yang mungkin salah satunya adalah anak mereka. Timbulnya
gaya, prilaku dan bahasa alay di kalangan remaja di Indonesia dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Faktor –faktor tersebut menurut (Ma'ruff, 2012) antara
lain adalah :
1. Buruknya
lingkungan pergaulan Lingkungan tempat pribadi bergaul banyak memberikan
sumbangan terhadap prilaku pribadi tersebut. Misalnya saja seseorang banyak
bergaul di lingkungan yang sifatnya ilmiah maka segala tindak tanduk yang
dilakukan oleh pribadi tersebut akan didasari oleh fakta-fakta ilmiah yang ia
pelajari. Begitu pula dengan seorang yang berprilaku alay, orang tersebut pasti
akan meniru dan mencerminkan prilaku dimana ia banyak bergaul.
2. Sosialisasi
yang kurang sempurna Kebanyakan alay beranggapan bahwa prilaku alay yang ia
tunjukan adalah tuntutan jaman dan pergaulan. Mereka para alay menganggap bahwa
jika alay artinya mereka gaul, sedangkan yang lainnya yang tidak alay adalah
kuno dan kurang gaul. Anggapan tersebut jelas-jelas salah. Penekanan kata
‘gaul’ serta makna ‘gaul’ yang diberikan, ditanamkan dan disosialisasikan pada
pribadi seseorang dinilai kurang sempurna. Oleh karenanya, prilaku alay
seseorang juga dapat disebabkan salahsatunya oleh proses sosialisasi yang
kurang sempurna.
3. Lemahnya
pendidikan teknologi Lemahnya pendidikan teknologi yang dimaksud adalah
lemahnya pemahaman seseorang terhadap penggunaan media dan teknologi yang ada
sekarang ini. Media sosial yang ada sekarang ini memberikan kontribusi yang
tidak sedikit terhadap berkembangnya gaya, prilaku dan bahasa alay. Perilaku – perilaku
alay yang ditunjukan merupakan akibat dari penggunaan media sosial dan
teknologi yang tidak dibarengi dengan pendidikan terhadap penggunaan media
sosial dan teknologi tersebut.
4. Terbatasnya
interaksi sosial Seseorang dapat menjadi alay karena terbatasnya interaksi
sosial. Mereka (para alay) menciptakan komunitasnya sendiri karena mereka tidak
dianggap di suatu lingkungan sosial tertentu. Mereka berpikir bahwa komunitas
lingkungan sosial tertentu bersifat tertutup dan tidak menghiraukan kehadiran
dirinya di lingkungan tersebut. Suatu komunitas/ kelompok hanya bergaul dengan
kelompoknya saja, tanpa menginginkan pergaulan dengan kelompok lainnya. Hal
tersebut dapat memicu terciptanya komunitas alay sebagai pengakuan akan
eksistensi diri dan lingkungannya.
5. Masa
peralihan atau transisi seseorang dari anak-anak menjadi seorang yang dewasa
dapat pula menjadi penyebab seseorang menjadi alay. Perilaku remaja yang sedang
dalam masa transisi biasanya menunjukan prilaku yang berlebihan dan prilaku
hiperbola yang tidak terkontrol. Prilaku berlebihan seorang remaja ini tiada
lain adalah suatu proses pencarian jati diri dan ekpresi dari pencarian jati
diri yang selalu ingin menunjukan “siapa saya” dan “seperti apa saya”. Oleh
karenanya bisa timbul prilaku alay yang salah satunya ditunjukan dalam proses
tulis – menulis gaya anak alay.
6. Kepincangan
globalisasi Arus globalisasi yang datang begitu deras menimbulkan ketimpangan
antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Mereka yang berada di
wilayah pedesaan kurang mampu menjelaskan internet secara spesifik berbeda
dengan mereka yang berada di wilayah perkotaan. Banyak dari mereka yang alay
hanya meniru berbagai kebiasaan buruk mereka yang ada dikota termasuk salah
satunya prilaku alay dari internet.
7. Buruknya
kualitas pendidikan Kualitas pendidikan menjadi ujung tombak perubahan prilaku
remaja yang ada di Indonesia. Buruknya kualitas pendidikan yang ada di
Indonesia berpengaruh banyak terhadap prilaku dan gaya alay yang timbul di
kalangan remaja Indonesia. Pendidikan dasar yang memiliki peranan penting,
seharusnya mampu memberikan penekanan pada anak mengenai kebaikan dan
keburukan, kebenaran dan ketidakbenaran tentang sesuatu hal. Hal ini dapat
tertancap dalam otak anak jika di mulai dari pendidikan dasar. Mereka para
pribadi alay pada dasarnya tidak akan memperhatikan logika, etika dan estetika
dari gaya, prilaku dan bahasa alay tersebut. Para remaja alay yang sedang
mencari jati dirinya kurang bisa membedakan secara logika mana yang benar dan
mana yang salah. Mereka tidak pernah berpikir panjang mengenai apa yang akan
terjadi di masa yang akan datang jika mereka terus berprilaku alay. Mereka
tidak akan memikirkan kelangsungan hidup dari Bahasa Nasional di masa yang kan
datang. Para remaja juga tidak akan berfikir kebaikan dan keburukan (etika)
dari penggunaan gaya dan prilaku khusunya bahasa dan tulisan alay. Bahasa pada
dasarnya adalah sebuah alat yang dapat digunakan oleh manusia untuk melakukan
komunikasi. Salah satu jenis komunikasi adalah komunikasi dalam bentuk tulisan.
Komunikasi dalam bentuk tulisan akan terjalin dengan lancar jika antara
orang-orang yang berkomunikasi dapat mengerti dan memahami apa yang disampaikan
satu sama lainnya. Bagaimana seseorang bisa memahami apa yang disampaikan dalam
sebuah tulisan oleh yang lain tanpa mengetahui apa makna dari huruf, angka dan
simbol yang dituliskan oleh orang lainnya. Tulisan yang penuh dengan kombinasi
simbol, angka, huruf besar dan huruf kecil akan menimbulkan kebingungan bagi si
pembaca yang tidak terbiasa menggunakan hal tersebut. Budaya seperti ini sering
ditunjukan oleh pribadi alay dimana kombinasi penggunaan simbol, huruf besar,
huruf kecil dan angka sering digabung untuk menuliskan sebuah hal. Orang-orang
yang banyak berkecimpung di dunia bahasa mungkin merasakan kurang nyaman dengan
gaya, prilaku dan terlebih bahasa yang sifatnya alay. Gaya bahasa alay baik yang
menggunakan media verbal ataupun media tuisan dapat merusak tatanan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Gaya bahasa remaja alay jika dibiarkan memang
lama kelamaan akan menghapus rasa nasionalisme terhadap bahasa nasional
Republik Indonesia. Penanaman rasa cinta terhadap bahasa Indonesia harusnya
mulai di tanamkan semenjak anak-anak masih berada pada usia dini. Kemudian
selanjutnya, rasa kecintaan terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat
dibina, dipupuk, di pelihara pada usia usia selanjutnya. Tugas ini bukan hanya
tugas guru di sekolah, melainkan tugas seluruh warga Indonesia termasuk di
dalamnya orang tua yang sifatanya lebih dekat dengan remaja dan anak-anak usia
sekolah.
Sumber
http://aguskusmanago.blogspot.com/2014/01/prilaku-alay-ditinjau-dari-sudut.html
Sumber
http://aguskusmanago.blogspot.com/2014/01/prilaku-alay-ditinjau-dari-sudut.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar