Selasa, 18 November 2014

Kota Cilegon

ASAL USUL KOTA CILEGON

                Saya pernah membaca sebuah artikel, bahwa cilegon itu berasal dari kata “Ci” atau “Cai” yang artinya air dan “Legon” atau “Melegon” yang artinya lengkungan. Jadi bisa diartikan bahwa cilegon artinya kubangan air. Hal ini sesuai dengan nama daerah yang berada di daerah Cilegon seperti Kubang sepat, kubang lele, kubang welingi, kubang kutu, kubang wates dan masih banyak lainnya.
Berikut ini Sejarah kota Cilegon :
1)      Masa Kesultanan Banten
Kota Cilegon dalam pembentukannya mengalami beberapa masa, yang dimulai dari masa Sultan Ageng Tirtayasa (tahun 1651 – 1672). Pada tahun 1651 Cilegon merupakan kampung kecil dibawah kekuasaan Kerajaan Banten, pada masa itu Cilegon berupa tanah rawa yang belum banyak didiami orang. Namun sejak masa keemasan Kerajaan Banten dilakukan pembukaan daerah di Serang dan Cilegon yang dijadikan daerah persawahan dan jalur perlintasan antara Pulau Jawa dan Sumatera. Sejak saat itu banyak pendatang yang menetap di Cilegon sehingga masyarakat Cilegon sudah menjadi heterogen disertai perkembangan yang sangat pesat.
2)      Masa Hindia Belanda
Pada tahun 1816 dibentuk Districh Cilegon atau Kewedanaan Cilegon oleh pemerintah Hindia Belanda dibawah Keresidenan Banten di Serang. Rakyat Cilegon ingin membebaskan diri dari penindasan penjajahan Belanda. Puncak perlawanan rakyat Cilegon kepada Kolonial Belanda yang dipimpin oleh KH. Wasyid yang dikenal dengan pemberontakan Geger Cilegon 1888 tepatnya pada tanggal 9 Juli 1888, mengilhami rakyat Cilegon yang ingin membebaskan diri dari penindasan penjajah dan melepaskan diri dari kelaparan akibat tanam paksa pada masa itu.
Pada masa 1924, di Kewedanaan Cilegon telah ada perguruan pendidikan yang berbasis Islam yaitu perguruan Al-Khairiyah dan madrasah Al-Jauharotunnaqiyah Cibeber. Dari perguruan pendidikan tersebut melahirkan tokoh-tokoh pendidikan yang berbasis Islam di Cilegon. Pada masa kemerdekaan, dalam mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia rakyat Cilegon telah menunjukan semangat juangnya. Jiwa patriotisme rakyat Cilegon dan Banten pada umumnya di zaman revolusi fisik mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah ditunjukan dan terkenal dengan Tentara Banten.
3)     Masa Orde Lama dan Orde Baru
Memasuki era 1962, di Clegon berdiri pabrik baja Trikora yang merupakan babak baru bagi era industri wilayah Cilegon. Industri baja Trikora berkembang pesat setelah keluar Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 1970 tanggal 31 Agustus 1970 yang mengubah pabrik baja Trikora menjadi pabrik baja PT. Krakatau Steel Cilegon berikut anak perusahaannya. Perkembangan industri yang pesat di Cilegon berdampak pula terhadap sektor lainnya seperti perdagangan, jasa, dan jumlah penduduk yang terus meningkat. Mata pencaharian penduduk Cilegon yang semula sebagian besar adalah petani berubah menjadi buruh, pedagang, dan lain sebagainya. PT. Krakatau Steel telah mendorong pembangunan dan perkembangan yang sangat pesat bagi wilayah Cilegon, yang akhirnya mempengaruhi kondisi sosial budaya dan tata guna lahan. Daerah persawahan dan perladangan menjadi daerah industri, perdagangan, jasa, transportasi dan perumahan serta pariwisata. Keadaan tersebut menggambarkan Cilegon sebagai kota kecil yang memiliki fasilitas kota besar. Akibat daripada itu, sejalan dengan tuntutan budaya kota, maka dibutuhkan tuntutan kehidupan masyarakat kota serta memerlukan pembinaan dan pengaturan penyelenggaraan perkotaan.
Menurut Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.40 tahun 1986, bahwa Kota Administratif Cilegon berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Pemerintah Kabupaten Serang, baik dalam penyelenggaraan pemerintah maupun keuangan. Aspirasi yang bekembang dalam lingkup Kotif Cilegon disalurkan melalui wakil-wakil yang ditunjuk atau ditugaskan sebagai anggota DPRD tingkat II Kabupaten Serang.
Sebagai pusat pelayanan bagi wilayah Banten dan sekitarnya baik pelayanan jasa koleksi maupun distribusi, pertumbuhan masyarakat Cilegon sangat ditopang oleh adanya perkembangan industri dan perdagangan. Sebagai pusat pertumbuhan, Cilegon memberikan kontribusi multiplier effek terhadap hinterland-nya dalam mengoleksi hasil-hasil produksinya dan demikian pula sebaliknya, yaitu mendistribusikan hal-hal yang dibutuhkan daerah hinterland tersebut. Untuk melayani kebutuhan tersebut perlu aparat yang memadai setingkat dengan Daerah Tingkat II.
Dalam perkembangannya Kota Cilegon telah memperlihatkan kemajuan di berbagai bidang baik pembangunan fisik, sosial, dan ekonomi yang cukup pesat. Perkembangan ini tidak terlepas dari struktur kota yaitu sebagai pintu gerbang Jawa – Sumatera dan perkembangan Industri Strategis Nasional di Wilayah Cilegon yang diikuti perkembangan pusat perdagangan, jasa, industri, pariwisata, dan pemukiman. Oleh karena itu perlu adanya peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana di wilayah Cilegon.
Perkembangan dan kemajuan Kota Administratif Cilegon tersebut tidak saja memberikan dampak berupa kebutuhan peningkatan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, tetapi juga memberikan gambaran mengenai dukungan, kemampuan, dan potensi wilayah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Dengan demikian untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan, serta pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat, dipandang perlu Kota Administratif Cilegon dibentuk Kota Madya daerah Tingkat II Cilegon.
4)     Masa Reformasi
Peluang yang diberikan Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah semakin memberikan keleluasan bagi Kotamadya Cilegon (selanjutnya disebut Kota Cilegon) untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Kota Cilegon. Peluang tersebut semakin nyata setelah institusi pemerintah di Kota Cilegon menjadi lengkap dengan terbentuknya DPRD Kota Cilegon.
Dengan ditetapkannya dan disahkannya UU No. 15 tahun 1999 tanggal 27 April 1999 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok dan Kotamadya Daerah Tingkat II Cilegon, status Kota Administratif Cilegon berubah menjadi Kotamadya Cilegon, dengan duet kepemimpinan Drs. H. Tb. Rifai Halir sebagai Pejabat Walikota Cilegon dan H. Zidan Rivai sebagai Ketua DPRD Cilegon.


Manusia Makhluk Sosial

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL

Manusia adalah makhluk sosial yang hidup bermasyarakat (zoon politicon). Keutuhan manusia akan tercapai apabila manusia sanggup menyelaraskan perannya sebagai makhluk ekonomi dan social. Sebagai makhluk sosial (homo socialis), manusia tidak hanya mengandalkan kekuatannya sendiri, tetapi membutuhkan manusia lain dalam beberapa hal tertentu. Misalnya, dalam lingkungan manusia terkecil yaitu keluarga. Dalam keluarga, seorang bayi membutuhkan kasih sayang kedua orang tuanya agar dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan sehat.
Manusia sebagai makhluk sosial dan budaya Sebagai masyarakat Indonesia, setiap manusia saling membutuhkan satu sama lainnya tentunya dalam hal yang positif. Saling bersosialisasi antara satu sama lainnya membuat interaksi yang kuat untuk mengenal kepribadian manusia lain. Manusia yang mudah bersosialisasi adalah manusia yang dapat atau mampu menjalankan komunikasi dengan baik dengan lingkungan sekitarnya. Dengan berlandaskan pancasila manusia sebagai makhluk yang sosial dan budaya disatukan untuk saling menghormati dan menghargai antara manusia yang memiliki budaya yang berbeda-beda.
Manusia sebagai Makhluk Sosial Manusia sejak lahir sampai mati selalu hidup dalam masyarakat, tidak mungkin manusia di luar masyarakat. Aristoteles mengatakan: bahwa makhluk hidup yang tidak hidup dalam masyarakat ialah sebagai seorang malaikat atau seorang hewan.
Di India oleh Mr. Singh didapatkan dua orang anak yang berumur 8 tahun dan 1 ½ tahun. Pada waktu masih bayi anak-anak tersebut diasuh oleh serigala dalam sebuah gua. Setelah ditemukan kemudian naka yang kecil mati, tinggal yang besar. Selanjutnya, walaupun ia sudah dilatih hidup bermasyarakat sifatnya masih seperti serigala, kadang-kadang meraung-raung di tengah malam, suka makan daging mentah, dan sebagainya. Juga di Amerika dalam tahun 1938, seorang anak berumur 5 tahun kedapatan di atas loteng. Karena terasing dari lingkungan dia meskipun umur 5 tahun belum juga dapat berjalan dan bercakap-cakap. Jadi jelas bahwa manusia meskipun mempunyai bakat dan kemampuan, namun bakat tersebut tidak dapat berkembang, Itulah sebabnya manusia dikatakan sebagai makhluk sosial (Hartomo, 2000: 77).
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa manusia lainnya. Misalnya saja hubungan sosialisasi antar tetangga , dengan adanya interaksi sosial antar tetangga akan mempermudah kita dalam mengatasi masalah di sekitar yang membutuhkan bantuan dari manusia lainnya. Jadi itulah mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial.
Dibawah ini merupakan faktor-faktor yang mendorong manusia untuk hidup bermasyarakat. Faktor-faktor itu adalah:
1. Adanya dorongan seksual, yaitu dorongan manusia untuk mengembangkan keturunan atau jenisnya.
2. Adanya kenyataan bahwa manusia adalah serba tidak bisa atau sebagai makhluk lemah. karena itu ia selalu mendesak atau menarik kekutan bersama, yang terdapat dalam perserikatan dengan orang lain.
3. Karena terjadinya habit pada tiap-tiap diri manusia. Manusia bermasyarakat karena ia telah biasa mendapat bantuan yang berfaedah yang diterimanya sejak kecil dari lingkungannya.
4. Adanya kesamaan keturunan, kesamaan territorial, nasib, keyakinan/cita-cita, kebudayaan, dan lain-lain.
Faktor-faktor lain yang dapat mengatakan manusia adalah makhluk sosial, yaitu :
a. Manusia tunduk pada aturan, norma sosial.
b. Perilaku manusia mengharapkan suatu penilain dari orang lain.
c. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain
d. Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.
Secara alamiah manusia berinteraksi dengan lingkungannya, manusia sebagai pelaku dan sekaligus dipengaruhi oleh lingkungan tersebut. Perlakuan manusia terhadap lingkungannya sangat menentukan keramahan lingkungan terhadap kehidupannya sendiri. Manusia dapat memanfaatkan lingkungan tetapi perlu memelihara lingkungan agar tingkat kemanfaatannya bisa dipertahankan bahkan ditingkatkan. Bagaimana manusia mensikapi dan mengelola lingkungannya pada akhirnya akan mewujudkan pola-pola peradaban dan kebudayaan.
Manusia sebagai makhluk budaya atau kebudayaan perbedaan mendasar antara manusia dengan makhluk yang lain (hewan) ialah bahwa manusia adalah makhluk berbudaya, hal ini disebabkan karena manusia diberi anugrah yang sangat berharga oleh Tuhan, yaitu budi atau pikiran. Dengan kemampuan budi atau akal itulah manusia dapat menciptakan kebudayaan yang menyebabkan kehidupannya sangat jauh berbeda dengan kehidupan hewan.
Oleh karena, itu manusia sering disebut makhluk sosial budaya, artinya makhluk yang harus hidup bersama dengan manusia lain dalam satu kesatuan yang disebut dengan masyarakat. Disamping itu, manusia adalah makhluk yang menciptakan kebudayaan dengan berbudaya itulah manusia berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya. Manusia tidak dapat dilepas dari kebudayaan, dimana ada manusia disitu ada kebudayaan.

Minggu, 16 November 2014

Perilaku Alay

PERILAKU ALAY DALAM SUDUT PANDANG FILSAFAT

Menurut Koentjara Ningrat : "Alay adalah gejala yang dialami pemuda-pemudi Indonesia, yang ingin diakui statusnya diantara teman-temannya. Gejala ini akan mengubah gaya tulisan, dan gaya berpakain, sekaligus meningkatkan kenarsisan, yang cukup mengganggu masyarakat dunia maya (baca: Pengguna internet sejati, kayak blogger dan kaskuser). Diharapkan Sifat ini segera hilang, jika tidak akan mengganggu masyarakat sekitar"
Menurut Sahala Saragih : “Bahasa alay merupakan bahasa sandi yang hanya berlaku dalam komunitas mereka. Penggunaan bahasa sandi tersebut menjadi masalah jika digunakan dalam komunikasi massa atau dipakai dalam komunikasi secara tertulis. Dalam ilmu bahasa, bahasa alay termasuk sejenis bahasa ‘diakronik’ yaitu bahasa yang dipakai oleh suatu kelompok dalam kurun waktu tertentu. Ia akan berkembang hanya dalam kurun tertentu. Perkembangan bahasa diakronik ini, tidak hanya penting dipelajari oleh para ahli bahasa, tetapi juga ahli sosial atau mungkin juga politik. Sebab, bahasa merupakan sebuah fenomena sosial. Ia hidup dan berkembang karena fenomena sosial tertentu.”
Menurut Selo Soemaridjan : "Alay adalah perilaku remaja Indonesia, yang membuat dirinya merasa keren, cantik, hebat diantara yang lain. Hal ini bertentangan dengan sifat Rakyat Indonesia yang sopan, santun, dan ramah. Faktor yang menyebabkan bisa melalui media TV (sinetron), dan musisi dengan dandanan seperti itu."
Banyak cara yang digunakan untuk berbahasa alay dalam bentuk lisan, salah satunya yaitu dengan memonyongkan bibir atau mendesah mengikuti kata-kata yang mereka ucapkan. Ada yang merujuk pada anak muda yang demi mendapatkan pengakuan di tengah lingkungan pergaulan akan melakukan apa saja, dari meniru gaya pakaian, gaya berfoto dengan muka yang sangat dibuat-buat.
Fenomena prilaku alay seperti ini berkembang terus menerus hingga saat ini. Bukan hanya itu, prilaku alay hingga saat ini memiliki tingkatan-tingkatan tertentu. Tingkatan tersebut dimulai dari tingkatan paling rendah, tingkatan rendah, tingkatan sedang, tingkatan parah dan tingkatan terakhir adalah tingkatan paling parah. Tingkatan – tingkatan ini didasarkan pada penggunaan bahasa tulisan yang digunakan oleh alay tersebut. Semakin rumit untuk dibaca dan difahami maka dapat dipastikan tingkatan alay seseorang semakin parah. Mereka yang berprilaku alay berpikir bahwa berprilaku alay bermanfaat bagi dirinya. Manfaat tersebut adalah adanya pengakuan dari kelompok tertentu akan kehadiran dan eksistensinya. Secara tidak sadar teori kebenaran yang mereka ikuti adalah teori kebenaran pragmatisme. Mereka yang berprilaku alay berfikir secara pragmatis bahwa dengan berprilaku alay mereka dapat diterima dan akhirnya memperoleh kepuasan (satisfied) akan pengakuan terhadap dirinya. Menurut (Jujun,1984) tentang kebenaran menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia. Kemunculan gaya, prilaku dan bahasa alay memang tidak dapat ditinjau dari segi ontologi dan epistomologi bahkan axiologi. Hal tersebut dikarenakan gaya, prilaku dan bahasa alay bukanlah suatu ilmu yang memiliki kebenaran yang dapat dibuktikan. Gaya, prilaku dan bahasa alay merupakan suatu bagian dari budaya yang berkembang dikalangan remaja di Indonesia. Namun, jika kita memandang bahasa remaja alay sebagai sebuah pengetahuan kita bisa menganalisis bahasa alay dari sudut pandang ontologi, epistomologi dan axiologi. Bahasa remaja alay, baik dari gaya komunikasi melaui media verbal maupun gaya komunikasi melaui media tulisan ditinjau dari sudut pandang ontologi memiliki hakikatnya tersendiri. hakikat keberadaan bahasa remaja alay jika dilihat menurut tata hubungan sistematisnya timbul karena keinginan remaja dalam masa pencarian jati diri untuk diperhatikan. Selain itu, remaja dalam masa pencarian jati diri ingin menunjukan eksistensi dan kehadirannya di dalam lingkungan masayarakat. Secara epistomologi bahasa remaja alay tumbuh bersamaan dengan perkembangan media sosial dan perkembangan teknologi yang tidak dibarengi oleh penerapan pendidikan yang tepat untuk mengurangi dampak dari perkembangan media sosial dan teknologi. Karena rentannya proses imitasi di kalangan remaja, perkembangan bahasa alay berkembang dengan cepat di kalangan remaja di Indonesia. Namun walaupun demikian, sumber dari gaya komunikasi verbal dan tulisan yang berlebihan remaja alay tidak jelas asal mulanya, tidak jelas siapa pencetus, tidak jelas siapa penggagas dan siapa pemula dari gaya komunikasi verbal dan tulisan yang sifatny alay tersebut. Gaya bahasa remaja alay ditinjau dari sudut pandang axiologi atau kegunaannya memang sedikit sekali. Remaja alay hanya akan memperoleh gengsi karena bisa faham dan mengerti bahasa alay. Namun bagi orang yang mencintai bahasa Indonesia yang baik dan benar, mungkin kegunaan dari bahasa alay adalah tidak ada. Namun tidak dapat dipungkiri, bahasa remaja alay akan selalu bersinggungan dengan kehidupan kita sehari-hari. Terlebih bagi mereka para orang tua yang memiliki anak remaja. Jika orang tua mengerti dan faham mengenai gaya berbahasa alay, setidaknya mereka mampu mencermati obrolan mereka remaja-remaja alay yang mungkin salah satunya adalah anak mereka. Timbulnya gaya, prilaku dan bahasa alay di kalangan remaja di Indonesia dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor –faktor tersebut menurut (Ma'ruff, 2012) antara lain adalah :
1. Buruknya lingkungan pergaulan Lingkungan tempat pribadi bergaul banyak memberikan sumbangan terhadap prilaku pribadi tersebut. Misalnya saja seseorang banyak bergaul di lingkungan yang sifatnya ilmiah maka segala tindak tanduk yang dilakukan oleh pribadi tersebut akan didasari oleh fakta-fakta ilmiah yang ia pelajari. Begitu pula dengan seorang yang berprilaku alay, orang tersebut pasti akan meniru dan mencerminkan prilaku dimana ia banyak bergaul.
2.  Sosialisasi yang kurang sempurna Kebanyakan alay beranggapan bahwa prilaku alay yang ia tunjukan adalah tuntutan jaman dan pergaulan. Mereka para alay menganggap bahwa jika alay artinya mereka gaul, sedangkan yang lainnya yang tidak alay adalah kuno dan kurang gaul. Anggapan tersebut jelas-jelas salah. Penekanan kata ‘gaul’ serta makna ‘gaul’ yang diberikan, ditanamkan dan disosialisasikan pada pribadi seseorang dinilai kurang sempurna. Oleh karenanya, prilaku alay seseorang juga dapat disebabkan salahsatunya oleh proses sosialisasi yang kurang sempurna.
3.    Lemahnya pendidikan teknologi Lemahnya pendidikan teknologi yang dimaksud adalah lemahnya pemahaman seseorang terhadap penggunaan media dan teknologi yang ada sekarang ini. Media sosial yang ada sekarang ini memberikan kontribusi yang tidak sedikit terhadap berkembangnya gaya, prilaku dan bahasa alay. Perilaku – perilaku alay yang ditunjukan merupakan akibat dari penggunaan media sosial dan teknologi yang tidak dibarengi dengan pendidikan terhadap penggunaan media sosial dan teknologi tersebut.
4.  Terbatasnya interaksi sosial Seseorang dapat menjadi alay karena terbatasnya interaksi sosial. Mereka (para alay) menciptakan komunitasnya sendiri karena mereka tidak dianggap di suatu lingkungan sosial tertentu. Mereka berpikir bahwa komunitas lingkungan sosial tertentu bersifat tertutup dan tidak menghiraukan kehadiran dirinya di lingkungan tersebut. Suatu komunitas/ kelompok hanya bergaul dengan kelompoknya saja, tanpa menginginkan pergaulan dengan kelompok lainnya. Hal tersebut dapat memicu terciptanya komunitas alay sebagai pengakuan akan eksistensi diri dan lingkungannya.
5.   Masa peralihan atau transisi seseorang dari anak-anak menjadi seorang yang dewasa dapat pula menjadi penyebab seseorang menjadi alay. Perilaku remaja yang sedang dalam masa transisi biasanya menunjukan prilaku yang berlebihan dan prilaku hiperbola yang tidak terkontrol. Prilaku berlebihan seorang remaja ini tiada lain adalah suatu proses pencarian jati diri dan ekpresi dari pencarian jati diri yang selalu ingin menunjukan “siapa saya” dan “seperti apa saya”. Oleh karenanya bisa timbul prilaku alay yang salah satunya ditunjukan dalam proses tulis – menulis gaya anak alay.
6.  Kepincangan globalisasi Arus globalisasi yang datang begitu deras menimbulkan ketimpangan antara masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan. Mereka yang berada di wilayah pedesaan kurang mampu menjelaskan internet secara spesifik berbeda dengan mereka yang berada di wilayah perkotaan. Banyak dari mereka yang alay hanya meniru berbagai kebiasaan buruk mereka yang ada dikota termasuk salah satunya prilaku alay dari internet.
7.  Buruknya kualitas pendidikan Kualitas pendidikan menjadi ujung tombak perubahan prilaku remaja yang ada di Indonesia. Buruknya kualitas pendidikan yang ada di Indonesia berpengaruh banyak terhadap prilaku dan gaya alay yang timbul di kalangan remaja Indonesia. Pendidikan dasar yang memiliki peranan penting, seharusnya mampu memberikan penekanan pada anak mengenai kebaikan dan keburukan, kebenaran dan ketidakbenaran tentang sesuatu hal. Hal ini dapat tertancap dalam otak anak jika di mulai dari pendidikan dasar. Mereka para pribadi alay pada dasarnya tidak akan memperhatikan logika, etika dan estetika dari gaya, prilaku dan bahasa alay tersebut. Para remaja alay yang sedang mencari jati dirinya kurang bisa membedakan secara logika mana yang benar dan mana yang salah. Mereka tidak pernah berpikir panjang mengenai apa yang akan terjadi di masa yang akan datang jika mereka terus berprilaku alay. Mereka tidak akan memikirkan kelangsungan hidup dari Bahasa Nasional di masa yang kan datang. Para remaja juga tidak akan berfikir kebaikan dan keburukan (etika) dari penggunaan gaya dan prilaku khusunya bahasa dan tulisan alay. Bahasa pada dasarnya adalah sebuah alat yang dapat digunakan oleh manusia untuk melakukan komunikasi. Salah satu jenis komunikasi adalah komunikasi dalam bentuk tulisan. Komunikasi dalam bentuk tulisan akan terjalin dengan lancar jika antara orang-orang yang berkomunikasi dapat mengerti dan memahami apa yang disampaikan satu sama lainnya. Bagaimana seseorang bisa memahami apa yang disampaikan dalam sebuah tulisan oleh yang lain tanpa mengetahui apa makna dari huruf, angka dan simbol yang dituliskan oleh orang lainnya. Tulisan yang penuh dengan kombinasi simbol, angka, huruf besar dan huruf kecil akan menimbulkan kebingungan bagi si pembaca yang tidak terbiasa menggunakan hal tersebut. Budaya seperti ini sering ditunjukan oleh pribadi alay dimana kombinasi penggunaan simbol, huruf besar, huruf kecil dan angka sering digabung untuk menuliskan sebuah hal. Orang-orang yang banyak berkecimpung di dunia bahasa mungkin merasakan kurang nyaman dengan gaya, prilaku dan terlebih bahasa yang sifatnya alay. Gaya bahasa alay baik yang menggunakan media verbal ataupun media tuisan dapat merusak tatanan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Gaya bahasa remaja alay jika dibiarkan memang lama kelamaan akan menghapus rasa nasionalisme terhadap bahasa nasional Republik Indonesia. Penanaman rasa cinta terhadap bahasa Indonesia harusnya mulai di tanamkan semenjak anak-anak masih berada pada usia dini. Kemudian selanjutnya, rasa kecintaan terhadap bahasa Indonesia yang baik dan benar dapat dibina, dipupuk, di pelihara pada usia usia selanjutnya. Tugas ini bukan hanya tugas guru di sekolah, melainkan tugas seluruh warga Indonesia termasuk di dalamnya orang tua yang sifatanya lebih dekat dengan remaja dan anak-anak usia sekolah.

      Sumber
http://aguskusmanago.blogspot.com/2014/01/prilaku-alay-ditinjau-dari-sudut.html

Korupsi

FENOMENA KORUPSI DI INDONESIA DARI SUDUT PANDANG FILSAFAT ILMU

Sebagian orang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya dan telah merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Sebagian lain menyatakan bahwa korupsi belum membudaya, walaupun harus diakui korupsi telah sangat meluas. Sebuah laporan Bank Dunia (Bank Dunia, 2003 : 42), mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki reputasi yang buruk dari segi korupsi dan menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Bahkan dari laporan Bank Dunia itu (Ibid : 50), menemukan bahwa korupsi di Indonesia memiliki akar panjang ke belakang yaitu sejak jaman VOC sebelum tahun 1800, dan praktek itu berlanjut sampai masa-masa pasca kemerdekaan. Dari masa inilah Indonesia mewarisi praktek-praktek seperti membayar untuk mendapatkan kedudukan di pemerintahan, mengharapkan pegawai-pegawai menutup biaya di luar gaji dari gaji mereka dan lain-lain. Pada masa Orde Baru yaitu selama 1967-1998, praktek korupsi ini mendapat dukungan dan kesempatan luas pada masa itu yaitu dengan memberikan dukungan kepada pengusaha-pengusaha besar dan membangun konglomerat-konglomerat baru dan memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas, bahkan memberikan kesempatan kepada para pengusaha dan kroni Presiden untuk mempengaruhi politisi dan birokrat.
Sejak lepasnya pemerintahan Orde Baru, masalah pemberantasan korupsi belum juga tertangani dengan baik. Niat untuk memberantas korupsi cukup kuat. Berbagai peraturan dan reformasi perundang-undangan tentang korupsi dilahirkan, tapi tidak membawa hasil yang memadai. Bahkan banyak korupsi baru yang terungkap justru terjadi setelah masa reformasi..
Menurut Baharuddin Lopa (Baharuddin Lopa & Moh. Yamin, 1987 : 6), pengertian umum tentang tindak pidana korupsi adalah suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi (UU 31/1999), memberi pengertian tentang tindak pidana korupsi adalah “perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” atau “perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Termasuk dalam pengertian tindak korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai negeri.
Kedua pengertian tersebut hanyalah dapat dimengerti dengan baik oleh para ahli hukum atau pejabat dalam bidang hukum. Kalangan awam menganggap bahwa pengertian korupsi bisa jauh lebih luas dari itu, yaitu segala perbuatan tercela yang dilakukan oleh pejabat dan pegawai negeri yang terkait dengan kekayaan negara. Apakah perbuatan itu merugikan negara atau tidak, hal itu bukanlah persoalan utama.
Beberapa kata kunci yang merupakan unsur tindak pidana yang perlu didalami yaitu kata-kata:
- “perbuatan”,
- “melawan hukum”,
- “memperkaya diri sendiri atau orang lain”,
- “merugikan keuangangan/perekonomian negara”,
- “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya,
- “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”.

Korupsi adalah rangkaian unsur-unsur (rumusan) yang tertulis dalam undang yang dicocokan dengan tindakan seseorang pada situasi konktrit. Rumusan dan unsur-unsur tersebut masih merupakan “gambaran” atau “bayangan”, yang masih berada dalam pikiran atau idea yang ditulis, dipositifkan dan dianggap sebagai sesuatu kebenaran. Rangkaian perbuatan konkrit dari “gambaran” atau “bayangan” tersebut adalah merupakan kejahatan, karena itu yang melakukannya dikenai hukuman. Apakah betul rangkaian perbuatan tersebut adalah kejahatan? Dalam kerangka paham positivis “gambaran” atau “bayangan” tersebut dianggap benar dan dijadikan landasan dalam mengambil putusan bahwa perbuatan konkrit atas penggambaran tersebut adalah “kejahatan”, tidak perduli apakah gambaran tersebut bertentangan atau tidak dengan etika atau moralitas dalam masyarakat. Etika dan moralitas menurut pandangan positivis berada di luar sisi hukum dalam penerapannya. Karena itu dari sisi pandangan positivis hal itu tidak perlu dibahas lebih jauh kecuali untuk keperluan ius constituendum (hukum yang dicita-citakan). Sebaliknya walaupun suatu perbuatan seorang pejabat atau pegawai negeri yang oleh masyarakat dianggap tercela tidak dapat dikatakan sebagai korupsi apabila tidak memenuhi unsur-unsur yang ditulis dalam undang-undang atau sedemikian rupa tidak dapat ditafsirkan sehingga cocok dengan rumusan undang-undang. Inilah hal pertama yang harus dipahami tentang korupsi.
Apa yang dimaksud “perbuatan”, tentunya semua orang memahaminya, Yang menjadi soal adalah apakah yang dimaksud adalah perbuatan “aktif” saja atau perbuatan “pasif” (atau tidak berbuat). Memperhatikan rumusan berikutnya yaitu “memperkaya diri sendiri atau orang lain”, atau “menguntungkan diri sendiri atau orang lain”, yang merupakan kata kerja maka dapat dipastikan bahwa yang dimkasud itu adalah perbuatan aktif.”. Dengan demikian perbuatan seseorang baru dikategorikan korupsi apabila melakukan perbuatan aktif saja dan tidak termasuk perbuatan pasif. Artinya; jika terjadi kerugian negara yang menguntungkan seorang pejabat negara atau orang lain dan dipastikan bukan karena perbuatan aktif dari pejabat negara tersebut , maka si pejabat negara itu tidak melakukan perbuatan korupsi. “Perbuatan” itu juga harus memperkaya diri sendiri atau orang lain. Karena penggunaan kata “atau” antara diri sendiri dan orang lain maka rumusan ini bersifat alternatif. Dengan demikian memperkaya orang lain saja walaupun tidak memperkaya diri sendiri adalah termasuk dalam pengertian korupsi ini.
Unsur selanjutnya adalah “melawan hukum”. Artinya perbuatan yang dilakukan untuk meperkaya diri sendiri atau orang lain itu adalah merupakan perbuatan “melawan hukum”. Apa yang dimkasud dengan “melawan hukum”, kembali pada pengertian apa yang dimaksud dengan hukum itu. Dalam kerangka pandangan positivis, hukum itu hanyalah undang-undang atau peraturan perundanga-undangan yang telah diotorisasi/disahkan oleh yang berwenang, di luar itu bukan hukum. Hukum pidana memberikan batasan yang sangat kaku terhadap apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum itu, karena terikat oleh asas “nullum delictum”, yaitu suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana sebelum diatur dalam undang-undang hukum pidana. Walaupun dalam perkembangan terakhir apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum ini tidak saja perbuatan yang melanggar hukum tertulis tetapi juga hukum yang tidak tertulis (baca Indriarto Seno Adji : 2001). Perluasan pengertian ini telah dimuat secara tegas dalam undang-undang mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi. Disamping itu suatu perbuatan yang tidak melawan hukum tetapi menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya untuk tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan atau perekonomian negara, juga adalah termasuk perbuatan korupsi.
Adanya kata-kata “merugikan perekonomian negara” memberikan perluasan makna kerugian negara, yaitu baik dalam arti sempit merugikan keuangan negara pada umumnya termasuk kerugian pada badan-badan usaha milik negara atau proyek-proyek yang dibiayai dari anggaran negara, juga kerugian terhadap pereknomian negara secara umum. Artinya akibat perbuatan itu mengganggu perekonomian negara atau membuat kondisi perekonomian negara tidak stabil atau mengganggu kebijakan perekonomian negara. Kesemuanya dianggap telah merugikan negara.
Dengan batasan pengertian korupsi yang demikian belum tentu sudah mengakomodir seluruh pandangan masyarakat tentang apa yang dianggap sebagai korupsi. Seperti yang ditulis oleh Jeremy Pope (Jeremy Pope, 2003 : 31) ternyata bahwa pandangan responden tentang apa yang disebut “korup” dan apa yang tidak sangat berbeda satu sama lain. Seperti dalam laporan penelitian di New South Wales, Australia, dikatakan “penting sekali bagi semua orang yang ingin turut mengurangi korupsi untuk menyadari bahwa apa yang diartikan sebagai perilaku korupsi akan berbeda-beda dari satu responden ke responden lain. Bahkan konvensi PBB mengenai pemberantasan tindak pidana korupsi tidak berani memberikan definisi tentang apa yang disebut korupsi apa yang tidak merupakan korupsi. Karena itu upaya pemberantasan korupsi semakin sulit karena tidak ada pengertian yang sama mengenai apa yang dimaksud dengan korupsi.
Demikian juga halnya di Indonesia dengan rumusan, yang demikian rigid dapat mempersempit arti apa yang dimaksud perbuatan korupsi. Karena pengertian yang sempit itu, seorang pejabat atau pegawai negeri yang sebenarnya telah melakukan perbuatan tercela yang seharusnya diputuskan/divonis korupsi, tapi bisa dilepaskan dari tuntutan hukum. Sebaliknya dengan rumusan yang demikian juga dapat memperluas apa yang dimaksud korpsi, sehingga orang-orang yang sebenarnya bekerja baik dan efektif serta efisien, karena dianggap merugikan keuangan negara dan menguntungkan orang lain walaupun dirinya tetap hidup miskin dapat divonis sebagai korupsi padahal bisa jadi tidak ada sedikitpun maksud dari yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan tercela yang berupa korupsi. Karena itu, sebenarnya inti dari “perbuatan korupsi” adalah “perbuatan tercela”. Untuk menghindari bias pengertian perbuatan tercela ini maka perlu dibuat suatu standar etik yang berlaku dalam birokrasi tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan dalam menentukan suatu kebijakan publik. Bila mempergunakan batasan yang terlalu formil dan kaku akan merumitkan upaya untuk mengurangi korupsi.
Suap menyuap sebagai sebuah kejahatan telah dikenal sejak adanya pemerintahan. Dalam cerita Al Qur’an tentang tingkah laku Fir’aun yang menindas rakyatnya dan mengumpulkan kekayaan yang berlimpah untuk kesenangannya adalah termasuk korupsi. Demikian juga Nabi Muhammad dalam sebuah hadisnya menyatakan bahwa “dilaknat oleh Allah bagi pemberi suap dan penerima suap”. Jadi rupanya korupsi bukanlah fenomena baru dalam kehidupan dunia. Persoalannya yang lebih jauh adalah, apa yang dimaksud perbuatan-perbuatan : “suap”, “dengan melawan hukum” serta “menyalahgunakan jabatan atau kedudukannya”, “untuk kepentingan dirinya atau orang lain” serta “yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara”. Dalam pemahaman umum tentu saja dengan gampang dapat dijawab bahwa perbuatan-perbuatan tersebut adalah merupakan perbuatan tercela atau tidak bermoral karena merugikan orang lain, karena itu pantas mendapatkan hukuman

Metodelogi yang mendasari pengertian korupsi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang pemberantasan korupsi tersebut sangat mempengaruhi rumusan atau batasan apa yang dimaksud korupsi sebagai sebuah kejahatan dan oleh karena itu harus dihukum. Dengan dasar apa rumusan tersebut diatas dibuat, apakah hanya karena anggapan dari pembuatn undang-undang saja atau dari hasil sebuah penelitian yang merangkum pandangan masyarakat tentang korupsi. Nampaknya beberapa persoalan metodologis seperti ini tidak tergambar dengan jelas dalam rumusan undang-undang tersebut. Paling mungkin yang terjadi adalah rumusan tersebut berasal dari pandangan para ahli atau pandangan dari pembentuk undang-undang saja dan tidak melalui sebuah proses penelitian atas pandangan masyarakat tentang korupsi. Apa yang secara tepat disebut korupsi dari sudut pandang pekerjaan berokrasi bisa berbeda dengan sisi pandangan masyarakat. Karena itu, bisa saja suatu perbuatan adalah korupsi menurut pandangan masyarakat tetapi dari pandangan cara kerja birokrasi hal itu bukanlah korupsi.
Mengamati kenyataannya yang terjadi di Indonesia, mendapatkan kekayaan dari keuangan negara apakah legal atau tidak legal dapat mengenangkan banyak orang bahkan pelakunya mendapatkan penghargaan, pujian bahkan status sosial yang lebih tinggi karena kekayaannya. Ia dapat memberikan bantuan sosial, sumbangan keagamaan dan dapat membantu keluarga yang kekurangan bahkan dapat membantu negara secara tidak langsung dengan banyak menabung dan menyimpan uang di bank yang sangat bermanfaat untuk memajukan perekonomia negara. Orang kaya akan banyak mendapat pujian dan decak kagum dari masyarakat, tidak perduli apakah kekyaan itu berasal dari pekerjaan legal atau tidak legal. Bahkan banyak anggota masyarakat yang berani mati membela orang kaya. Jadi tidak seluruhnya benar bahwa korupsi merugikan orang lain dan merugikan negara atau merupakan perbuatan tercela. Kita harus melihat dari filsafat apa kita melihatnya.
Jika cara pandanganya adalah filsafat materialisme maka ada banyak aspek perbuatan korupsi yang bisa dibenarkan. Mungkin inilah pula kenapa korupsi tidak sepenuhnya dapat diatasi di Indonesia karena bagian terbesar masyarakat kita sudah dirasuki oleh pikiran materialisme dan penghambaan terhadap materi dan kekayaan. Sementara, pada sisi lain cara pandang yang dijadikan dasar untuk mendefinisikan dan memberikan pengertian korupsi pada perundang-undangan kita adalah cara pandang yang didasarkan pada filsafat idealisme, yang hanya mengandalkan dunia ide. Apa yang ada dalam kepala itulah yang diasumsikan sebagai kebenaran, padahal ide tidak bisa menjawab realitas material yang sesungguhnya terjadi. Dalam perumusan tindak pidana korupsi telah menjadikan ide sebagai kebenaran dan ide itu dipositifkan kedalam undang-undang. Padahal ide banyak hambatannya dalam melihat suatu kebenaran. Sir Francis Bacon seorang filosof Inggeris, (F.Budi Hardiman, 2004 : 28-29) tidak begitu yakin dengan kebenaran ide, karena ide kadang-kadang terhambat oleh adanya “idola”, yaitu rintangan yang berupa tradisi-tradisi yang merasuki jalan pikiran kita sehingga kita tidak kritis menilai sesuatu. Menurut F. Bacon, ada 4 macam “idola” yang menjadi rintangan berpikir kritis itu yaitu, pertama; idola trubus, yaitu semacam prasangka-prasangka yang dihasilkan oleh atas keajekan-keajekan tatanan alamiah sehingga tak sanggup memandang alam secara obyektif. Kedua idola cave, yaitu pengalaman-pengalaman dan minta-minat kita pribadi mengarahkan kita melihat dunia, sehingga dunia obyektif dikaburkan. Ketiga idola fora, yaitu pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian kita yang tak teruji. Dan keempat idola theatra, yaitu sistem-sistem filsafat tradisional yang merupakan kenyataan subyektif dari para filosofnya.
Karena itu pengertian korupsi ini harus juga dilihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu sudut pandang filsafat materialisme dan empirisme, sehingga dapat dipahami bahwa beberapa perbuatan untuk memperoleh kekayaan agar dapat membantu orang lain, memberikan banyak sumbangan sosial dan keagamaan, membantu keluarga, membantu negara, mendapatkan kehormatan dan kedudukan dalam masyarakat, menguntungka rakyat secara umum atau menguntungkan negara secara tidak langsung dan perbuatan-perbuatan lain yang terpuji seharusnya tidak digolongkan sebagai perbuatan korupsi. Pandangan Immanuel Kant (Mohammad Muslih, 2005 :62), mengenai putusan dapat menjadi acuan untuk melihat epistemologi korupsi, yaitu apa yang disebut oleh Kant dengan putusan “sintetis a priori”. Kant membedakan adanya tiga macam putusan, yaitu pertama, putusan analitis a priori; yaitu prediket tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek karena sudah termuat didalamnya (misalnya setiap benda menempati ruang). Kedua, Putusan sintesis aposteriori; misalnya pernyataan “meja itu bagus”, disini prediket dihubungkan dengan subyek berdasarkan pengalaman indrawi, karena dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang telah diketahui. Ketiga, sintesis a priori; disini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis namun bersifat a priori juga. Misalnya putusan yang berbunyi “segala kejadian mempunyai sebabnya. Putusan yang ketiga ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori) namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori. Sebab didakam pengertian “kejadian” belum dengan sendirinya tersirat pengertian sebab. Maka di sini baik akal maupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Pendekatan sintesis a priori dalam memahami korupsi lebih mendekati kebenaran apa sebenarnya korupsi itu.
Korupsi harus juga dilihat dari hukum kausalitas, yaitu sesuatu tidak mungkin terjadi kalau tidak ada sebabnya. Sebab itulah yang menimbulkan akibat. Karupsi adalah akibat, yiatu akibat dari sistem yang longgar. Sistem yang memberikan peluang orang untuk melakukan korupsi. Korupsi juga adalah akibat dari kehilangan idealisme dan pengutamaan pada materialisme. Sementara, dengan kondisi pragmatis keuangan pegawai yang bersumber dari gaji adalah tidak mungkin memenuhi kebutuhan material pegawai negeri. Pandangan dan kebutuhan materialistis itulah yang menjadi sebabnya korupsi.
Demikian juga persoalan suap. Dari sudut mana kita memandang bahwa suap itu adalah perbuatan tercela yang harus dihukum. Dalam banyak hal “suap” itu dibutuhkan untuk efisiensi dan efektifitas dalam filsafat kapitalisme dan ekonomi pasar. Pasarlah yang menentukan seseorang untuk mengambil suatu putusan. Persaingan kehidupan modern sekarang selalu diukur dengan kecepatan dan ketepatan dalam bertindak, karena jika tidak, maka pasti akan ketinggalan. Itulah filsafat abad modern. Ketaatan pada aturan main kadang dianggap bisa menghambat kemajuan ekonomi dan persaingan dalam dunia bisnis yang serba cepat. Karena itulah negosiasi pelanggaran lalulintas di jalan antara polisi dan pelanggar lalulintas untuk memberi dan menerima suap adalah lebih efektif dan efisien daripada diproses tilang yang harus datang ke pengadilan menghabiskan waktu dan biaya yang bisa lebih besar. Demikian juga dalam pengurusan ijin-ijin usaha dan lisensi yang membutuhkan kecepatan maka pemberian hadiah dan fasilitas bagi penentu kebijakan akan dapat mempercepat penyelesaian perijinan dan dikeluarkanya kerbijakan itu. Pemegang saham dan atasan di perusahaan akan memberikan apresiasi yang luar biasa atas pekerjaan seseorang atau pimpinan perusahaan yang efektif dan efisien untuk kemajuan perusahaan dan secara tidak langsung akan menguntungkan bagi negara karena negara akan mendapat pemasukan pajak yang lebih besar dan karyawan akan mendapat kesejahteraan lebih baik. Jadi “suap” dari sudut pandang filsfat ekonomi pasar yang mengedepankan efektifitas dan efisiensi dapat merupakan perbuatan tidak tercela dan tidak merugikan negara atau orang lain. Sedangkan undang-undang anti korupsi melihat masalah “suap” dari sudut pandang filsat idealisme saja.
Perbuatan menyalahgunakan kewenangan atau kedudukan dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain walaupun dapat merugikan negara, tidak selalu berkonotasi jahat sehingga harus dihukum dan dianggap korupsi jika dipandang dari filsafat materialisme itu. Dalam banyak kasus korupsi, koruptor merasa telah banyak berjasa pada negara dengan berjuang dan bekerja keras sehingga negara diuntungkan dari kerjanya itu. Negara pada sisi lain tidak memberikan kontra prestasi material kepada yang bersangkutan sehingga yang bersangkutan merasa sah-sah saja mendapatkan uang dari negara dalam berbagai bentuknya seperti “tantiem”.